Chapter 39 - Anxiety

634 77 1
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan penuh dengan petualangan, akhirnya Liv dan Sergio pun tiba di Boston. Keduanya pun menyempatkan diri untuk mampir di Society, sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu, untuk membeli pakaian dan kebutuhan lainnya.

Setelah mendapatkan seluruh kebutuhan yang diperlukan, Liv dan Sergio pun beranjak meninggalkan Society dan berangkat menuju tempat mereka akan menginap. Tak lama kemudian, Sergio mengarahkan kemudinya ke sebuah apartemen mewah yang memiliki dua puluh lantai. Apartemen itu terletak tak jauh dari Society.

"Ayo, kita sudah sampai." ujar Sergio.

"Apa?" ujar Liv.

Sergio menarik lengan Liv dan membawa wanita itu menuju sebuah elevator VIP. Selang beberapa waktu kemudian, keduanya pun tiba di sebuah penthouse yang sangat besar dan luas. Penthouse itu terletak di lantai paling atas bangunan apartemen itu. Terdiri dari tiga kamar tidur dan ruang keluarga yang cukup luas, serta beberapa jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota Boston.

"Kita akan menginap di sini selama berada di Boston." ujar Sergio.

"Sergio, kurasa aku bisa tinggal di hotel saja. Sungguh, kau tidak perlu repot-repot melakukan hal semacam ini." ujar Liv.

"Tenang saja." ujar Sergio. "Jesse sedang berada di Italia. Kita bisa menggunakan tempat ini untuk sementara waktu."

"Jesse?" tanya Liv.

"Oh, ini adalah apartemen milik sepupuku, Jesse." ujar Sergio. "Dia berkuliah di Harvard."

Jujur saja, Liv sedikit terkejut ketika mendengar jika penthouse ini adalah milik salah satu keluarga Beckford lainnya. Sesungguhnya, wanita itu benar-benar tidak ingin semakin terjerumus ke dalam lingkaran keluarga konglomerat itu lagi. Cukup Arthur dan Sergio saja yang membuat kepalanya pusing.

Sergio pun membuka salah satu pintu yang terletak di ujung ruang keluarga dan menyalakan lampu ruangan itu. Tampak sebuah kamar tidur yang terbilang cukup besar yang memiliki nuansa elegan pada interiornya.

"Ini kamarmu." ujar Sergio. "Kau bisa menggunakannya."

"Ennggg...Ta-tapi..." ujar Liv.

Rrrr~

Tiba-tiba, telepon genggam Sergio pun kembali berdering. Pria itu pun meminta waktu kepada Liv untuk menjawab panggilan itu dan meninggalkan wanita itu sendirian di ambang pintu kamar tidur itu.

Kamar tidur yang ditunjukkan oleh Sergio tampak luas, bahkan sangat luas. Terlihat sebuah ranjang besar yang terletak di tengah ruangan dan dilengkapi pula dengan beberapa perabotan yang sangat mewah.

Di dominasi dengan warna putih dan abu, membuat kamar itu terlihat semakin elegan. Namun, tampaknya kamar ini tidak pernah digunakan sebelumnya karena perabotannya yang tertata begitu rapi. 

Liv meletakkan tas nya di atas ranjang lalu berjalan menuju jendela kamar. Wanita itu tampak membuka sedikit tirai kamar itu dan kedua mata Liv tampak dimanjakan dengan pemandangan kota yang sangat indah.

Berada dua puluh lantai dari tanah memang terasa  begitu menyenangkan. Liv dapat melihat hampir seluruh bagian kota Boston dar jendela kamarnya. Seingat wanita itu, terakhir kali ia mengunjungi kota ini adalah untuk menemani Joshua menghadiri sebuah seminar. Bukan sebuah memori yang indah untuk diingat.

Terlintas kembali di benak Liv memori bersama Joshua itu membuatnya menghela nafas dengan panjang. Terlalu banyak kenangan indah bersama Joshua yang terjadi di Boston, sehingga Liv pun sulit untuk melupakannya. Wanita itu pun akhirnya  memutuskan untuk berjalan keluar dari dalam kamar untuk mengalihkan pikirannya.

Suddenly YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang