Part 56 - Leave Us Alone

581 84 3
                                    

Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Namun, jalanan di Kota New York tampak tetap dipadati oleh sejumlah kendaraan. Walaupun jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam, hiruk pikuk kota metropolitan itu pun tak kunjung redam.

Hal itu berbanding terbalik dengan situasi yang tengah terjadi di dalam apartemen Liv. Tampak Sergio dan Liv sedang bersitegang. Keduanya terlihat saling melempar tatapan tajam dan meninggikan suaranya masing-masing.

"Apa lagi yang ingin kau bicarakan, Sergio?" ujar Liv. "Kurasa semuanya sudah selesai tadi."

Sergio melangkahkan kakinya dan berjalan mendekat ke arah Liv. Pria itu tampak melonggarkan dasi kupu-kupunya dan membiarkan kancing kemeja putihnya itu terbuka sehingga ia dapat bernafas lebih mudah.

Sejak awal pesta itu dimulai, leher Sergio rasanya seperti tercekik. Bukan karena dasi kupu-kupu itu melilit dengan rapi di lehernya, namun karena beban yang dipikul di pundak pria itu sangatlah berat.

Proyek Fort Cape Resort itu memang menyerap begitu banyak energi dan pikiran Sergio. Pria itu telah melakukan segala cara agar proyek prestisius ini berjalan lancar dan Sergio merasa sedikit lega ketika akhirnya proyek itu diluncurkan secara resmi kepada publik malam ini.

Beberapa hal lagi yang menambah beban di pundak Sergio semakin terasa berat adalah kemunculan Chrissy yang tidak diinginkan dan membuat gaduh kehidupan pria itu selama beberapa hari ini. Ditambah lagi, Sergio harus bertemu sekaligus melihat Joshua Renner mendekati Liv lagi. Dan kini, Liv mendadak kesal kepadanya. Tampaknya semesta tengah menghukumnya saat ini.

"Ada apa sebenarnya denganmu?" ujar Sergio.

"Apa maksudmu?" ujar Liv.

"Mengapa kau begitu marah kepadaku?" ujar Sergio. "Apa aku melakukan kesalahan kepadamu?"

Liv menutup pintu lemari kaca yang ada di hadapannya lalu meletakkan botol wine itu di atas meja. Wanita itu pun mengusap dahi dan kepalanya dengan perlahan. Entah bagaimana caranya untuk mengatakan seluruh apa yang dirasakan oleh Liv saat ini.

Sulit sekali rasanya untuk merangkai kata-kata yang aman untuk disampaikan dan mudah dimengerti. Apalagi, otak Liv tidak dapat berpikir dengan jernih saat ini. Ingin sekali rasanya wanita itu memuntahkan seluruh perasaan serta pikirannya kepada Sergio, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Mengatakan hal yang sejujurnya kepada pria itu hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi lebih rumit.

"Mengapa kau menolong dan menjauhkanku dari Chrissy?" ujar Sergio.

"Jujur saja, aku cukup lelah dan kesal melihat tingkah laku wanita itu." ujar Liv. "Ulahnya membuatku muak."

Liv tampak mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. Wanita itu tidak peduli lagi jika riasan yang masih melekat di wajahnya itu pun berantakan. Mengingat perlakuan Chrissy kepadanya memang membuat emosi Liv kembali naik. Saat ini, Liv hanya ingin Sergio mengangkat kaki dari apartemennya lalu menghabiskan waktunya seorang diri di dalam kamar.

"Dan itu artinya kita sudah impas. Aku tidak berhutang apapun lagi kepadamu." ujar Liv.

"Impas? Hutang?" ujar Sergio. "Kau pikir aku mengharapkan timbal balik darimu, setelah apa yang kulakukan untukmu? Apa kau bercanda? Aku melakukan semua itu memang karena aku ingin melakukannya."

Kepala Liv mulai terasa pusing. Pandangan wanita itu pun mulai berputar. Seisi ruangan apartemen itu tampak bergoyang ke sana dan kemari, seperti diguncang oleh gempa. Tampaknya wine yang ditenggak oleh Liv pun mulai bereaksi.

"Sergio, aku sangat berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku dari mantan suamiku dan kekasihnya tadi." ujar Liv.

"Namun, mengatakan bahwa kita sedang dalam sebuah hubungan, tampaknya bukanlah sesuatu hal yang bijaksana." lanjut Liv. "Kau hanya akan membuatku terjebak dalam masalah baru."

Suddenly YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang