Part 70 - Never Ever

347 58 0
                                    

Liv terlihat tengah duduk di sebuah sofa yang ada di dalam apartemen kamarnya. Wanita itu tampak memandangi suasana kota New York yang tengah diguyur hujan deras itu. Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, namun kota itu masih terlihat dipadati oleh sejumlah kendaraan.

Sudah hampir dua hari ini wanita itu tidak bertemu dengan Sergio. Bukan karena takut atau apalah itu, namun karena memang Liv menghindari pria itu. Semua ini terjadi karena pertemuan wanita itu dengan Laura tempo hari.

Sejak pertemuan Liv dengan ibu Sergio itu, semuanya berubah total. Semua perkataan wanita paruh baya itu berputar-putar di kepala Liv setiap waktunya. Liv tahu betul memang hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, Liv tidak menyangka bahwa insiden itu akan terjadi secepat ini. Tidak di saat ia tengah menikmati hubungannya dengan Sergio.

Liv pun mengambil sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Lalu, bibir merah wanita itu pun mengepulkan seluruh asap rokoknya ke udara.

Ting-tong~~~

Tiba-tiba terdengar bunyi bel apartemen itu yang berbunyi dengan cukup keras sehingga suaranya menggema ke seluruh ruangan. Dengan bergegas, Liv pun membuka pintu itu tanpa berpikir panjang lagi. Wanita itu tampak tertegun tatkala melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. Siapa lagi kalau bukan Sergio.

Sergio tampak menatap wajah Liv dengan sangat intens. Ya, pria itu terlihat marah...bahkan mungkin sangat marah. Liv tahu betul alasan mengapa kekasihnya itu terlihat begitu emosi. Ya, semua ini adalah karena ulahnya.

Cukup lama Liv dan Sergio hanya berdiri di ambang pintu, sambil terdiam. Keduanya hanya saling menatap satu sama lain, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Liv tidak tahu harus berkata apa kepada Sergio. Dirinya memang merasa begitu bersalah karena membuat pria tampan itu menjadi 'korban' karena keegoisan dan apa yang dilakukan olehnya tanpa pikir panjang. Hingga akhirnya, Sergio pun memutuskan untuk membuka mulutnya.

"Apa kau memang senang mempermainkanku?" ujar Sergio.

"A-apa?" ujar Liv.

Sergio pun berjalan masuk ke dalam apartemen itu, tanpa menghiraukan Liv yang masih terdiam di ambang pintu. Pria itu melewati Liv begitu saja lalu memutar tubuhnya dan menatap Liv dengan tajam.

Sergio terlihat masih menggunakan setelan jas nya dengan lengkap. Tampaknya pria itu baru saja kembali dari kantor, padahal waktu sudah selarut ini.

"Apa kau memang senang memancing emosiku, huh?" ujar Sergio.

"Apa maksudmu, Sergio?" ujar Liv. "Aku tidak mengerti."

Mendengar jawaban Liv, membuat emosi Sergio semakin memuncak. Pria itu tampak menyunggingkan senyumnya sambil terkekeh dengan sinis.

Sergio tidak habis pikir bagaimana Liv bisa bersikap selugu itu. Entah wanita itu berpura-pura tidak mengerti situasi yang terjadi di antara keduanya atau memang Liv sepolos itu, sehingga bersikap begitu menyebalkan.

"Mengapa kau tidak menghubungiku?" ujar Sergio. "Bukankah aku sudah mengatakannya kepadamu untuk segera menghubungiku?"

Liv hanya terdiam sambil mengarahkan tatapannya ke arah dinding. Entah apa yang harus dikatakan olehnya. Bukan karena Liv tidak mau menghubungi Sergio atau tidak merindukan kekasihnya itu. Namun, wanita itu tidak tahu harus berkata apa kepada Sergio. Satu hal yang Liv butuhkan saat ini adalah waktu untuk sendiri.

"Dua hari kau menghilang dan tidak memberiku kabar sedikit pun." ujar Sergio. "Mengapa kau tidak menjawab teleponku, huh?"

"Sergio, aku..." ujar Liv.

"Apa kau menganggap hubungan kita hanya sebuah permainan belaka, Liv?" ujar Sergio.

"Apa? Permainan? Tentu saja tidak, Sergio." ujar Liv. "Aku tidak menganggap hubungan kita seperti itu."

Suddenly YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang