Part 82 - Silent Treatment

385 46 2
                                    

Le Blanc Restaurant, New York - 10.35 am

Restoran itu terlihat cukup ramai. Sejumlah orang tampak memadati deretan meja yang ditata dengan apik. Walaupun waktu masih menunjukkan pukul setengah sebelas siang, namun beberapa orang tampak asyik menyantap menu brunch mereka yang ditemani dengan secangkir teh atau segelas kopi.

Di salah satu meja, tampak Sergio dan Nick tengah duduk. Kedua pria itu terlihat begitu fokus dengan makanannya masing-masing. Nick terlihat tengah menyesap Spearmint Tea favoritnya, sedangkan Sergio terlihat begitu fokus dengan sepiring English Breakfast  set-nya.

Sejak tadi, Sergio terlihat begitu gelisah. Pria itu tidak berhenti memainkan pisaunya sambil menggerak-gerakkan salah satu kakinya. Terlalu banyak hal yang berkutat di dalam pikiran Sergio saat ini dan hal itu sangat mengganggunya sejak lama.

"Apa yang sedang kau lakukan, huh?" ujar Nick.

"Apa?" ujar Sergio. "Aku tidak melakukan apa-apa."

"Mengapa kau terlihat begitu gelisah?" ujar Nick. "Tidak bisakah kau sedikit tenang? Kau hampir membuat cangkir tehku tumpah. "

Sergio menoleh ke arah Nick. Teman baiknya itu terdengar begitu kesal dengan apa yang Sergio lakukan. Padahal, Sergio melakukan hal itu benar-benar tanpa sadar.

"Setelah kau membuat kita semua dicekal untuk mengunjungi Ambrosè selama beberapa bulan," ujar Nick. "Sekarang kau hampir menumpahkan teh milikku."

"Bukankah Casey sudah mengurus semua itu?" ujar Sergio.

"Serg, bukan itu poinku." ujar Nick.

Nick melepas kacamata hitamnya lalu mengarahkan tatapannya ke arah Sergio. Pria itu memperlihatkan lebam di mata kirinya akibat perkelahian semalam di Ambrosè. Lebam itu belum juga sembuh, bahkan terlihat lebih parah dari sebelumnya.

"Apa kau berbicara dengan Liv?" ujar Nick.

"Berbicara apa?" ujar Sergio. "Apa yang harus kubicarakan dengannya?"

Nick terdengar menghela nafasnya dengan berat. Pria itu pun mengusap wajahnya dengan kasar lalu terdengar mengaduh karena luka lebam di bagian matanya ikut terusap.

Nick terlihat begitu kesal dengan Sergio. Mengapa teman baiknya itu tidak peka juga? Entah pria itu memang tidak berpikir hingga ke arah sana atau  benar-benar memiliki ego yang sangat tinggi. Satu hal yang jelas, Sergio tampaknya tidak mengerti apa yang harus dilakukan olehnya.

Sesuai dugaan Nick, Sergio terlihat kehilangan arah. Sejak dahulu, teman baiknya itu memang tidak memiliki pengalaman berhubungan dengan seorang wanita. Sangat tidak sesuai dengan tampilan fisiknya yang begitu necis dan tampan, cenderung terkesan playboy.

"Kau adalah pria paling bodoh yang pernah aku temui, Serg." ujar Nick.

"Apa kau bilang?" ujar Sergio."Apa kau ingin aku membuat kedua matamu lebam?"

"Mungkin sebaiknya begitu." ujar Nick. "Karena hingga saat ini, kau juga tidak mengerti apa yang harus kau lakukan."

Sergio tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Nick. Pria itu hanya memutar kedua bola matanya sambil mendengus dengan kesal. Memang apalagi yang harus dilakukan oleh Sergio? Memaksa Liv untuk kembali kepadanya? Cih! Tampaknya hal itu hanya sia-sia belaka.

"Apa yang harus kulakukan, huh?" ujar Sergio. "Memohon dan berlutut di depan Liv? Itukah yangkau inginkan?"

Kini, giliran Nick yang mendengus kesal.

"Bicara, Serg. Bicara!" ujar Nick. "Kau harus mengatakan apa yang kau rasakan selama ini kepada Liv."

"Kurasa wanita itu sudah tahu apa yang kurasakan  Nick." ujar Sergio.

Suddenly YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang