16.

1.1K 151 8
                                    

Happy reading

Vivi terlihat geram. Wajah gadis itu terlihat kesal. "Pasukan pemberontak bukan hanya sekumpulan berandalan atau pun sebuah simbol dekorasi yang bisa di pajang."

"Vivi chan, bagaimana kalau kita membongkar kedok mereka?" saran Sanji.

Ace pun terlihat setuju. "Ya, mereka sudah memanfaatkan para penduduk. Pencuri dan pasukan pemberontak ini sama saja."

Nava menyikut perut Ace dengan siku lengannya. "Dasar bodoh. Walau pun mereka palsu, mereka masih ada gunanya. Desa itu jadi aman karena ada mereka," ujarnya.

Ace terperangah mendengar penuturan Nava. "Sejak kapan kau bijak, Nava?"

Nava menggeram kesal. Sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk seringaian licik. Dengan kasar gadis itu mencubit mulut Ace sehingga mengerucut ke depan seperti paruh bebek. "Sekali lagi kau berbicara yang tidak-tidak tentangku, kujahit mulutmu," ancamnya.

Nava berkacak pinggang, kemudian menatap Vivi lekat-lekat. "Jadi Vivi, apa yang akan kau lakukan?"

"Tapi, Nava swan mengertilah sedikit perasaan Vivi chan. Mereka tak bisa dibiarkan begitu saja," ucap Sanji membela Vivi.

"Semua keputusan tetap ada pada Vivi. Aku hanya mengutarakan pendapatku saja," ucapnya.

Sanji terlihat kesal. "Orang-orang brengs*k seperti itu harus segera dihajar!"

Ace mengelus ujung bibirnya yang masih terasa sakit. Dengan sedikit tergagap pemuda itu mengutarakan pendapatnya. "A-aku setuju dengan dengan Nava. Setelah kita mengalahkan pemberontak palsu itu lalu apa? Desa itu pasti akan kembali sengsara."

Vivi terlihat ragu untuk mengambil keputusan. Situasi saat ini sudah cukup mendesak. Mereka sekarang bertarung dengan waktu. Mereka harus menghentikan pasukan pemberontak sebelum terjadi pertempuran.

"Negara ini sedang dalam keadaan tidak bisa memperhatikan rakyatnya. Pilihan terbaik yang bisa dilakukan penduduk adalah menjaga kedamaiannya sendiri."

Nami tidak bisa menangkap maksud Vivi. "Jadi dihajar?" tanyanya terus terang.

Vivi menggeleng. "Tidak, tapi aku ingin menguji mereka dulu."

"Menguji?" Nami dan Nava terlihat bingung.

"Menguji bagaimana maksudmu?" tanya Nava.

"Jika pasukan pemberontak palsu itu benar-benar memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga desa, maka tidak masalah jika mereka terus bepura-pura," jelas Vivi.

"Jadi, kau ingin menguji tanggung jawabnya ya?" tanya Ace.

Vivi mengangguk. "Ya, jadi aku ingin kalian melakukan sandiwara dulu."

"Dengan senang hati Vivi chan."

Luffy terlihat samgat bersemangat "Yosh, kurasa ini akan menyenangkan."

"Eh? Benarkah menyenangkan?" tanya Chopper penasaran.

"Chotto Luffy! Kita tidak akan bermain-main," tegur Nami. "Kau mengerti?"

Luffy mengangguk dengan antusias. "Aku mengerti. Yang perlu kita lakukan adalah mengalahkan para pemberontak palsu itu 'kan?"

Nava menepuk jidatnya pasrah. Gadis itu menghela napas lelah. Tak dia sangka akan semelelahkan ini menghadapi Luffy. "Ace, aku salut padamu."

Ace terkikik pelan. "Begitulah Luffy."

Lalu kemudian mereka semua mulai menyusun rencana. Luffy, Sanji, Zoro, Chopper, dan Ussop yang menjadi pemeran dalam sandiwara ini dengan dibantu Ace sementara Nami, Vivi, dan Nava hanya menyimak dari jauh.

Tiga wanita itu terutama Nava terlalu malas untuk mengurus para pengecut itu.

"Mereka memang terlihat seperti sekumpulan pengecut. Mereka tidak bisa di andalkan," komentar Nami.

Nava mendesis pelan. "Mereka bahkan berniat kabur saat mendengar bajak laut gurun datang. Payah."

Vivi mengangguk setuju saat melihat bagaimana Kamyu dan bawahannya terlihat gentar berhadapan dengan Luffy dan yang lain.

"Kau yakin?" tanya Nami pada Vivi. Raut wajah gadis berambut orange itu terlihat ragu sekarang. "Mungkin yang terbaik bagi warga desa adalah mengalahkan mereka sekarang."

Vivi masih ingin menaruh harapan pada sekelompok pemberontak palsu itu. "Tunggu dulu. Kita tunggu sebentar lagi."

Di saat situasi sedang tegang, Luffy yang terbawa suasana memukul para pemberontak palsu itu sungguhan. Sontak Nava, Nami, dan Vivi terkejut. Ketiganya terperangah melihat aksi kapten bajak laut topi jerami itu.

"Luffy no baka! Jika mereka menyerah, semuanya berakhir. Apa yang dia rencanakan?!" pekik Nami panik.

Situasi tiba-tiba berbalik. Pemuda yang dipukul oleh Luffy itu kembali bangkit berdiri dan tak membiarkan teman-temannya dihajar.

Nava menarik sudut bibirnya ke atas. "Nampaknya situasi sekarang telah berubah."

Nami mengangguk setuju. "Ya, walau tadi mereka sempat putus asa setelah terpojok."

"Ya, tapi jika kau tak memiliki sesuatu yang berharga dalam hatimu untuk diperjuangkan, kau tak akan pernah bisa berubah seperti itu," ucap Vivi.

Nava menatap Vivi dalam-dalam. "Ya, sesuatu yang berharga memang selalu bisa mengubah seseorang."

Nami menaikkan sebelah alisnya heran. Atensinya kini beralih pada Nava. Wajahnya terlihat tersenyum, tapi sorot matanya untuk sesaat terasa kesepian. "Apa maksudmu, Nava?"

Nava menggeleng dengan cepat. "Lupakan saja."

Nava menatap Vivi dan Nami sevara bergantian kemudian berkata. "Lalu sekarang bagaimana? Kita pergi sekarang?"

Vivi menjawab tanpa ragu. "Ya, kita pergi sekarang. Aku serahkan tugas melindungi desa pada mereka untuk sementara."

Mendengar jawaban Vivi, Nami pun mengirim sinyal pada Luffy dan yang lain untuk segera mundur. Setelah semua kembali berkumpul, mereka semua segera berlari menjauhi desa.

"Orang yang berani mengorbankan nyawanya untuk orang lain itu sangat mengerikan," komentar Zoro.

Tak terasa mereka telah berlari cukup jauh dan bebatuan besar sudah terlihat di depan mata. Tanpa berdiskusi panjang, mereka berteduh di bebatuan itu dan menikmati makan mereka.

Nava mengambil napas dalam kemudian membuangnya dengan perlahan. Ia harus mengatur napasnya yang tersenggal-senggal karena habis berlari.

Semua orang terutama Ussop dan Luffy sangat menikmati acara makan mereka.
"Kami ingin makan lagi!" pekik Ussop.

"Tambah! Aku ingin tambah!" seru Luffy antusias.

"Tambah!" Keduanya berteriak bersamaan.

Sanji mengomeli Ussop dan Luffy. Keduanya dihajar habis oleh sang koki dengan tendangannya.

"Kau tidak makan Nava?" tanya Vivi.

Nava menggeleng pelan. "Aku sudah makan dengan Ace tadi saat di desa."

Ace terkekeh. "Bilang saja kau sedang diet, Nava." Ace kembali mengejek Nava entah yang kesekian kalinya.

Selamat Ace, anda telah berhasil membuat seorang Nava marah sekarang.

Tiba-tiba sebuah tanduk keluar dari dahi Nava. Tanduknya berwarna merah dan menjulang tinggi. Matanya berkilat penuh amarah pada Ace.

Tangannya yang kini dipenuhi tatto berwarna merah menggengam erat Karna kemudian dia melemparkannya langsung ke arah pemuda itu hingga Ace tersungkur ke belakang. Gadis itu mendengus kesal. "Jika aku mendengar kau berbicara lagi, kali ini peluru Karna yang menembus kepalamu Ace."

Ace tertawa kecil. Tangannya bergerak menyentuh kepalanya yang terasa sakit terhantam senapan laras panjang Nava. Dia meringis pelan. "Sakit tau, Nava!" Keluhnya.

Nava mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Bodo amat."

To be continued

My Queen [One Piece X Oc]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang