Hari ini Ara memutuskan untuk libur bekerja. Tubuhnya letih dan lesu, bukan karena kekurangan darah tapi mungkin karena rindu. Terdengar menyebalkan memang tapi jujur ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Perasaan ini persis seperti yang ia rasakan saat kehilangan ibu dulu. Ara jadi bingung harus bagaimana.
Ara baru selesai mandi dan makan malam, tugasnya juga sudah selesai dan rumahnya juga sudah bersih. Ara memilih untuk menyibukkan diri hari ini, sehingga ia sedikitnya bisa lupa tentang hal yang ia alami kemarin.
Setelah lelah duduk diam di tepi ranjang, ia membaringkan tubuhnya yang kecil di kasur kesayangannya. Menarik nafas panjang lalu memejamkan mata. Baru saja matanya terpejam beberapa detik, suara dering dari ponselnya memaksa mata Ara untuk membuka. Ia meraih ponselnya yang tak jauh darinya. Nomor tidak di kenal menelponnya.
Dengan enggan ia menerima panggilan itu, dan mendekatkan layar kotak itu ke telinga.
"Halo." Kata Ara saat telepon itu sudah tersambung.
"Dimana?" Kata orang di seberang yang membuat Ara bingung. Dimana? Apanya yang dimana?
"Apanya?"
"Lo di mana?" Tanya orang di sana, suara ini terdengar asing di telinga Ara.
"Di rumah. Ini siapa?"
Setelah pertanyaan itu, panggilan ditutup begitu saja oleh orang di seberang. Ara sampai hampir mengumpat karena kesal diperlakukan tidak sopan seperti tadi. Ara bahkan memandang tak percaya pada layar ponselnya yang menampilkan panggilan sudah selesai. Lalu membuang nafas kasar dan meletakkan sembarangan benda itu.
Lampu kamar Ara biarkan menyala, ia tidak mau berharap seperti kemarin. Ia sudah lelah. Dengan pikiran yang entah kemana Ara memandangi langit rumahnya yang kosong. Ia tiba tiba ingin tinggal dengan ayahnya saja, jadi ia bisa tidur di temani tidur oleh ayah atau mungkin ibu tirinya. Bisa juga ia bisa bercanda dengan bang Reno sebelum tidur. Tapi jika dipikirkan lagi tetap tidak benar. Ara selalu tidak nyaman tidur di rumah orang lain.
Matanya lelah terbuka. Ia menarik nafas dan memutuskan untuk memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, bunyi aneh terdengar di luar kamar. Ara langsung siaga meskipun matanya masih tertutup. Ia menggenggam kuat ujung bantal yang ia peluk, bersikap tenang dan berpura pura tidur.
Jantungnya berdegup kencang, cemas dan takut. Genggaman di bantal semakin kuat. Nafas Ara juga terasa tercekat. Astaga. Dia bukan pembunuh bayaran kan? Siapa juga yang akan mengirimkan pembunuh untuknya. Hidup miskin sudah cukup menjadi ancaman. Sampai akhirnya.
Ara langsung bangkit dari tidurnya dan mengangkat tinggi tinggi bantal yang ia cengkram tadi. Dengan mata masih tertutup ia memukul dengan brutal objek yang mendekati nya. "Rasakan ini! Rasakan!"
"Aduh, Ara stop. Aduh Ara ini gue."
Mata Ara terbuka. Ia mengintip takut takut pada orang yang mengaduh barusan.
"Daniel?"
"Iya Daniel. Siapa lagi."
Dengan mata yang murka Ara kembali memukul Daniel dengan bantal yang ia genggam. Tidak peduli dengan Daniel yang terus mengaduh dan memintanya berhenti. Ia kesal.
"Stop Ara, aduh." Dengan cepat Daniel meraih tangan Ara, menghentikannya untuk kembali memukul Daniel. Menatap lekat pada gadis yang sudah lama tidak ia tatap.
Daniel tersenyum melihat mata Ara yang tajam. "Kenapa di pukul sih? Sakit tau."
Masih dengan tatapan yang sama, Ara merengut kesal. "Bohong. Luka berdarah aja kamu bilang gak sakit, masa di pukul bantal sakit."
Daniel terkikik membenarkan. Tanpa bicara lagi Daniel menarik tubuh Ara untuk memeluk nya. Diluar dugaan, Ara malah menurut dan tidak memberontak. Iya Ara merindukan Daniel. Kehadiran Daniel sangat ia tunggu.
Keduanya memutus jarak, saling merapat dan memeluk. Dalam pelukan Daniel yang tiba tiba ternyata membuat Ara merasa nyaman, dengan senang hati ia memeluk erat orang yang memenuhi kepalanya beberapa hari terakhir.
"Ara."
"Hm." Jawab Ara singkat.
"Pilih formal atau gaul?"
Ara langsung menjauhkan diri, dan menatap heran pada Daniel yang menanyakan hal random. "Kenapa?"
Daniel berdecak. Ara selalu bertanya balik saat di tanya. "Jawab aja sih."
Sesaat Ara memikirkan tentang hal yang di tanyakan Daniel. Formal atau gaul? Tentang apa kira kira? Gaya pakaian mungkin. Ah iya. Daniel selalu berpakaian gaul yang terkesan acak acakan. Lebih baik mungkin jika ia sedikit berpakaian formal.
Ara tersenyum. "Formal aja deh." Malah mendapat desahan kecewa dari Daniel.
"Ah pilihan lo norak."
Dengan cepat Ara memukul lengan Daniel. "Ish tadi suruh milih, giliran udah milih gak terima. Gimana sih."
Daniel merengut sambil mengusap lengannya yang kena pukul Ara. Tidak keras. Tidak. Sungguh. "Iya iya bawel."
Tidak mau berdebat lebih lanjut dengan Ara, Daniel membaringkan tubuhnya di kasur Ara. Tidak peduli dengan si empu yang masih duduk menatapnya tidak suka. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Bersiap bermain game online di sana.
Di tempatnya, Ara terus memperhatikan Daniel yang sedang fokus dengan ponsel di tangannya. Ia terus meneliti wajah Daniel. Semakin di lihat, Daniel yang ini memang mirip dengan Dani kakak kelasnya. Tapi apa iya Daniel yang ini adalah Dani yang sama. Ah rasanya tidak mungkin jika Daniel yang ini sekolah, bukannya dia sendiri yang bilang kalau dia tidak sekolah. Tapi siapa Dani yang itu? Apa Daniel yang ini punya saudara kembar atau adik yang sangat mirip mungkin. Atau mereka hanya orang yang berbeda tapi wajah mereka sama. Atau bagaimana sih?
"Ngeliatin mulu ganteng ya?" Ujar Daniel tanpa melirik pada Ara yang sudah memerjap setelah mendengar suara Daniel. Pikirannya buyar.
"Gak tau." Jawab Ara sekenanya.
"Gak tau atau gak mau ngaku?" Tanya Daniel dengan nada menggoda. Ia menoleh sambil menaik turunkan alisnya dengan menyebalkan.
"Gak tau!"
"Yah gak mau ngaku."
"Ish nyebelin."
Ara merajuk dan hendak pergi, tapi tangan kanannya di genggam Daniel dengan cepat. Lalu merengkuh tubuh Ara kedalam pelukannya. Daniel memeluk Ara dari belakang. Berbisik di telinga gadis itu. "Tapi ngangenin kan?"
Satu sisi dalam diri Ara ia tersipu dan senang. Sisi lainnya ia merasa malu dan janggal. Perasaannya campur aduk menjadi aneh. Malu sekaligus senang. Begitulah. Sebisa mungkin ia menahan senyuman merekah di wajahnya atau ia bisa sangat malu karena di ejek Daniel.
"Nyebelin banget sih."
Daniel hanya tersenyum dan masih menyandarkan kepalanya di pundak Ara. Memejamkan matanya sebentar. Mencari jawaban dari semua pertanyaan dalam kepalanya. Daniel percaya Ara. Tidak. Mungkin lebih kepada berusaha untuk mempercayai gadisnya, meskipun ia tidak tau apa keputusannya percaya pada Ara itu benar atau berakhir pada penghianatan. Ia hanya berusaha percaya. Ia harap Ara tidak merusak kepercayaan itu, sangat berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...