11

27.8K 2.9K 30
                                    

Farrel berdiri dengan bersandar di ambang pintu. Memperhatikan kawannya yang sedang memukuli samsak dengan brutal. Bahkan wajahnya begitu tegang dan merah padam.

Bajunya basah karena keringat. Farrel hanya menghela nafas dengan mata yang masih terpaku. Tidak biasanya Daniel se emosi ini. Dia memang tempramen tapi Daniel masih bisa mengendalikan amarahnya. Setidaknya tidak melampiaskan pada samsak yang tidak berdosa. Iya, biasanya.

"Kenapa dia?" Tanya lelaki yang sedang memegang mug berisi kopi. Ia menyeruputnya sedikit dengan mata yang tetap terfokus pada seseorang yang dengan ganas meninju samsak di sana.

"Gak tau. Dateng dateng dia udah kayak gitu." Sejak pagi Farrel ada di tempat yang biasa di sebut markas. Dan sejak 20 menit lalu Daniel datang dengan wajah yang merah padam dan seperti itu.

"Duh, kayaknya gue harus beli samsak baru. 10 menit lagi pasti bakal ancur ama tu anak."

"Bagus. Lagian samsak nya aja udah burik, kayak lo." Ujarnya tanpa dosa sambil menunjuk ke arah Farrel dengan dagunya. Dan dia langsung melenggang pergi.

Farrel menatap lelaki itu nyalang. "Yak. Gue lebih tua dari lo, sopan dikit!" Farrel tidak terima dengan kakinya yang melangkah menyusul lelaki itu. Sepertinya lelaki itu ingin dicoret dari daftar teman dalam buku Farrel nih.

"Umur itu cuma angka. Gak ngejamin kedewasaan." Ujar Terra, lawan bicara Farrel. Ia duduk dengan anggun di sofa biru di tengah ruangan.

"Udah cocok lu jadi kakek gue." Ujar Farrel saat ikut duduk di sofa.

"Cih gak sudi banget punya cucu kayak lo."

Farrel benar bener ingin melempar mug yang ada di meja ke arah Terra dengan keras. Wajah datarnya saat bicara sungguh menjengkelkan.

"Oh iya. Rencananya lancar kan? Tahap selanjutnya gimana?"

Farrel angkat bahu tidak tau. Penanggungjawab nya saja kayak gak peduli lagi.

"Gak tau, Daniel lagi sibuk sama hal lain. Jadi gitu deh."

"Tumbenan. Sibuk? Bukannya dia pengangguran. Sekolah juga engga. Sibuk apaan?"

"Pdkt katanya."

"Sama siapa? Lu?"

"Ngaco. Ama cewek lah. Masa sama nenek lo."

Mata besar Terra membola. Serius. "Daniel pdkt ama cewek? Gue kira dia homo."

Dan kepala Terra langsung di hadiahi sebuah sarung tinju dari arah belakang. Daniel pelakunya.

Terra nyengir kemudian memberi isyarat maaf tanpa bicara. Daniel langsung pergi dari sana tanpa bicara apapun. Baik Terra maupun Farrel saling menatap heran.

Setelah Daniel menghilangkan dari sana, lalu Farrel segera bergerak menuju ruangan tadi.

"Kayaknya gue kudu buru buru beli samsak baru, kalo enggak tembok bisa jebol sama dia. Sinting emang."

*****

"Abang pulang ya, kamu beneran gak papa tinggal sendiri. Kamu bisa..."

"Gak papa. Udah pulang sana, ayah bisa marah kalo abang pulang ke malem an nanti."

Ara tersenyum pada lelaki yang menatapnya khawatir. Wajahnya yang manis membuatnya nyaman hanya dengan melihatnya saja.

Lelaki itu mengusap pelan kepala sebelah kiri Ara kemudian tersenyum hangat.

"Kalo gitu abang pulang ya. Kamu jaga diri. Nanti kalo ada apa apa hubungi abang aja. Oke."

"Siap bos." Ujar Ara dengan posisi hormat. Keduanya tersenyum. Tak berapa lama lelaki itu menyalakan motornya.

"Hati hati bang." Ara melambaikan tangannya. Lelaki itu tersenyum singkat lalu meninggalkan tempat itu.

Ara masih tetap di tempatnya memperhatikan motor orang yang menyebut dirinya Abang itu meskipun sudah tidak terlihat.

Hari ini hari yang baik dan bahagia. Ara tersenyum mengingat kejadian hari ini. Ia bergerak membuka pagar rumah dan berjalan menuju rumah dengan senyuman di wajahnya.

Ia membuka pintu rumah dan ia terkejut melihat orang yang sedang duduk di sofa.

"Oh astaga!" Ara mengatur nafasnya karena terkejut. Kemudian Ara melepas sepatunya dan meletakan sepatu itu di rak dekat pintu masuk.

"Sejak kapan kamu disitu Daniel?"

"Dari mana saja lo?"

"Aku..."

"Lo gak ada di minimarket. Mereka bilang lo izin. Dan lo pulang malem juga. Kemana aja?" Ujar Daniel dengan emosi. Meskipun Daniel tidak melirik padanya, Ara tau kalau lelaki itu sedang tidak dalam mood yang bagus.

Ara terkejut dengan nada bicara Daniel. Apa Ara berbuat salah.

"Itu aku.."

"Siapa cowok yang nganter lo tadi?!" Daniel berdiri. Bergerak mendekati Ara yang masih berada di dekat pintu.

Sontak membuat Ara panik. Ara bisa melihat dengan jelas wajah Daniel yang mengeras. Bahkan Daniel menatapnya dengan tajam. Secara refleks ia bergerak menjauh. Tubuhnya memberi peringatan kalau Daniel dalam mode berbahaya.

"Daniel itu bukan..."

"Bukan apa? Lo mau bilang dia bukan siapa siapa." Daniel tersenyum miring. "Lo gak liat jam berapa sekarang. Dia bukan siapa-siapa, tapi lo sampe bolos kerja dan pulang malem. Cih. Jangan jangan dia pelanggan lo lagi."

Ara membulatkan matanya. Daniel. Ia berdiri tegak menatap kesal pada Daniel. Dia merendahkan Ara.

"Maksud kamu apa sih?"

"Gue yakin lo gak bego buat ngerti."

Daniel sudah berdiri di hadapan Ara. Keduanya bertukar pandangan.

"Kemana aja lo. Siapa cowok tadi?" Daniel bertambah kesal dengan tatapan Ara yang berani.

"Kemana dan dengan siapa aku pergi itu urusanku. Kamu gak perlu tau." Ara memutuskan pandangannya dan berniat pergi.

Tapi baru selangkah ia pergi, pergelangan tangan kirinya di cegat Daniel dan di genggamnya kuat. Membuat Ara berhenti dan meringis sakit.

"Daniel sakit." Ara meringis dan mencoba melepaskan tangannya dari Daniel. Tapi lelaki itu sangat kuat. Sepertinya Daniel benar benar marah.

Daniel tersenyum miring. Membuat Ara semakin takut. Meski begitu ia masih berusaha melepaskan tangannya dan mencoba tidak menatap Daniel. Sebab pandangannya benar benar menusuk.

"Gue tanya sekali lagi. Siapa cowok tadi?"

Meskipun Ara takut tapi ia tidak berniat memberi tau Daniel tentang lelaki yang mengantarkan nya tadi.

"Bukan urusan kamu."

Daniel tertawa singkat. Rahangnya mengeras, bahkan genggaman di pergelangan tangan Ara bertambah kuat. Ara benar benar kesakitan.

"Gue pernah bilang kalo gue bisa ngelakuin yang lebih dari sekedar ciuman."

"Sakit Daniel." Mata Ara mulai berkaca-kaca. Tangannya benar benar sakit.

"Lo kira gue gak berani?"

Lantas Daniel menarik paksa Ara untuk mengikuti nya. Langkahnya yang lebar dan cepat membuat Ara harus berlarian menyesuaikan atau dia bisa tersungkur. Kemudian Daniel menendang keras pintu kamar Ara. Ara bahkan sampai terlonjak kaget.

Ara menyadari satu hal. Daniel benar benar marah sekarang.

Daniel mendorong Ara ke atas kasur. Ara langsung meringsek menjauh dari Daniel saat lepas dari genggaman lelaki itu.

Ara melihat kilat marah di mata Daniel. Bahkan wajahnya juga menakutkan.

Oh Tuhan Ara melakukan kesalahan.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang