Brian mengambil jarak aman mengintai dari posisi Ara yang sedang berjalan bergandengan dengan Riska keluar area sekolah. Tapi tak lama setelahnya ia menangkap sosok yang ia lihat beberapa hari lalu berkenalan dengan targetnya. Orang itu berjalan santai keluar gerbang lalu masuk ke sebuah mobil mewah yang seakan sedang menunggunya di pinggir jalan. Brian berusaha keras untuk melihat siapa yang bicara dengan orang itu dari tempatnya berada, tapi kaca mobil itu terlalu gelap. Ia tidak bisa melihat apapun.
"Ck. Jordan kemana anjir, target dibiarin begini." Gerutu Brian sambil melongok mencari keberadaan Jordan diantara siswa yang berjalan keluar sekolah, wajahnya tidak terlihat sama sekali. Padahal tinggi badan Jordan tidak sependek itu sampai tidak terlihat. Atau mungkin dia ada di suatu tempat. Ah terserah, yang penting saat ini Brian fokus dulu pada tugas utama nya. Mengawasi Ara.
Ia langsung melirik kembali ke arah targetnya, dan gadis itu ternyata sudah tidak ada. Mata Brian membulat kaget, ia kehilangan targetnya. Astaga karena terlalu fokus mencari Jordan malah membuatnya kehilangan fokus pada targetnya.
Ia melirik lagi ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan tadi, dan mobil itu juga sudah hilang. Dengan tatapan tak percaya, bahunya turun lemas. Brian kehilangan semuanya. Ia langsung memukul kepalanya kesal, dan mengumpat banyak banyak dalam benaknya. Bisa bisanya ia hilang fokus dan kehilangan mereka sekaligus. Lihat kan akibat bekerja dengan para bocah. Merepotkan.
Dengan lesu, Brian keluar area sekolah dan berniat mencari target utama nya. Atau ia bisa di habisi Terra karena tidak becus. Oh ayolah Brian merasa lapar sekarang.
****
"Wah. Kangen banget." Ujar Ara antusias melihat banyak permainan yang mengundang minatnya.
"Lo seneng?" Tanya seseorang di samping Ara yang sedang tersenyum melihat binar mata Ara yang cerah yang sedang mengedarkan pandangan pada permainan di sekelilingnya.
Dengan semangat Ara mengangguk sambil menatap senang ke arah orang itu. "Seneng banget." Senyum lebar tak bisa Ara sembunyikan.
"Ayo main, gue yang traktir." Lagi lagi Ara tersenyum senang. Siapa yang tidak senang setelah di ajak ke timezone, di traktir pula.
"Makasih Kai." Ujarnya dengan tulus. Dipandanginya wajah tampan Kai yang tinggi di atas wajah Ara. Kai membalasnya dengan tersenyum hangat. Jujur saja tipe lelaki seperti Kai cukup sulit di temukan saat ini, jadi Ara merasa sedikit beruntung bisa mengenal nya. Perangainya baik, sikapnya yang sopan dan pengertian. Juga jangan lupakan soal wajah tampannya yang bisa menghipnotis siapapun.
Kai bergerak mendekat dan mengusak rambut Ara gemas. Kemudian membelai sisi kepala gadis itu, diperhatikannya mata dan senyuman bahagia Ara. Ibu jarinya bergerak mengelus pipi lembut Ara, dan menatap matanya. Coklat terang yang cantik.
Satu perasaan aneh bergetar di hatinya. Ia menjauhkan diri lalu menghela nafas, ia merasa detak jantungnya tak bisa ia kendalikan. Ia melirik Ara dan melempar senyum. "Ayo."
****
Sejujurnya Kai ingin sekali menggandeng tangan Ara yang ada di sampingnya, tapi sebisa mungkin ia tahan. Akhirnya dia hanya bisa menggenggam angin karena ia memilih mengepalkan tangan menahan untuk tidak meraih tangan kecil Ara untuk di genggamnya.
Selama dua jam penuh Kai habiskan untuk bermain game di timezone bersama Ara. Selama itu pula matanya tak pernah lepas dari wajah Ara yang penuh senyuman, bahkan sampai kedua matanya hampir tertutup karena senyumnya yang sangat lebar. Senyuman itu. Yang tanpa sadar membuat Kai ikut tersenyum.
Rumah Ara sudah terlihat beberapa meter lagi. Jujur Kai ingin tetap di sini, di dekat Ara. Tapi bagaimana mungkin, gadis itu tetap harus pulang. Begitupun dengan Kai.
"Nyampe. Makasih udah nganterin. Makasih juga udah traktir main di timezone tadi." Ujar Ara tulus dengan senyuman yang benar benar lebar. Ara tidak bisa menutupi kebahagiaan nya pergi ke arcade karena ajakan Kai hari ini.
Kai mengangguk dan tersenyum. "Gak masalah. Lain kali kita bisa main lagi kalo lo mau."
Ara tidak menjawab, hanya tersenyum sebagai jawaban.
Kai terpesona dengan mata coklat terang milik Ara, ditambah dengan senyumnya yang cerah. Lalu tiba-tiba ia menurunkan pandangan nya pada sepasang sepatu yang ia kenakan dan menghela nafas. Setelahnya ia kembali menatap Ara dan tersenyum.
"Gue pamit ya."
Ara mengangguk, dengan sama sekali tidak melunturkan senyum. "Hati hati."
"Lo cantik." Ujar Kai tiba tiba. Ara yang kaget hanya diam dan berkedip beberapa kali. Situasi rasanya menjadi canggung, jadi Ara tertawa hambar untuk mencairkan suasana.
"Bisa aja. Aku tau. Katanya mau pulang." Ujarnya ragu.
"Gue gak suka liat lo cemberut, ataupun sedih. Jadi..." Kai menjeda kalimat nya lalu dengan sengaja ia menaruh sebelah tangannya di sisi kepala Ara, dan sedikit menekuk lutut nya menyamakan wajahnya dengan Ara. Menatap Ara hangat. Senyuman yang manis terlukis di wajah Kai. "Jangan sedih lagi. Apapun masalahnya semua bakal selesai. Gue ada buat lo." Tangannya bergerak mengusap pelan rambut Ara, membuat gadis itu terpaku dengan tingkah kakak kelasnya yang mendadak aneh.
Entah berapa lama Ara dan Kai bertahan di posisi itu, sampai Ara tersadar dan langsung ambil satu langkah mundur menjauh dari Kai. Kemudian menarik nafas menetralkan kegugupan dalam dirinya.
"Em ka-kamu mau pulang kan? Hati hati. A-aku masuk rumah dulu oke. Bye Kai." Dengan langkah cepat Ara bergegas masuk rumah tanpa peduli dengan Kai yang mungkin masih berdiri di depan pagar rumah, Ara merasa ada yang salah dengan hal yang baru saja terjadi.
Ara langsung bersandar di pintu rumah yang sudah ia tutup setelah masuk ke rumah. Ia bisa merasakan detak jantungnya menggila, seakan perlakuan Kai tadi membuat jantungnya semangat bekerja. Tapi ini bahaya. Ara tidak boleh begini.
Ia menarik nafas, kemudian membuangnya. Menarik nafas lagi, dan hembuskan. Sampai ia merasa sedikit tenang. Salah, ia merasa hal ini salah. Bagaimana jika Daniel tau? Bukankah Daniel akan kecewa jika tau kalau Ara baru saja jalan dengan Kai. Harusnya Ara menjaga jarak dengan Kai, bukan malah mengiyakan ajakan Kai untuk pergi ke timezone. Karena merasa kecewa dengan dirinya sendiri, Ara jatuh perlahan dengan posisi masih bersandar di pintu lalu duduk di lantai.
Mengingat Daniel. Lelaki itu meminta Ara menunggu sebentar lagi. Tapi dia malah melakukan kesalahan dengan tidak menuruti larangan Daniel. Kenapa Ara selemah ini dengan pesona Kai.
"Daniel, maaf." Gumamnya. Karena jujur siapa yang tidak terpesona dengan seseorang yang baik dan memiliki perangai yang sopan dan lembut. Kai itu sangat baik, bohong jika Ara tidak tertarik. Ayolah Ara, kau punya Daniel jangan serakah.
Ara berusaha keras meredam perasaan gila yang tiba tiba muncul. Tidak, Ara tidak bisa seperti ini. Maksudnya Ara sudah pernah bilang kalau, Kai hanya kakak kelasnya tidak lebih. Dan memang harus tetap begitu. Ara tidak bisa menyakiti Daniel, tidak boleh lebih tepatnya. Ia tau kalau perasaannya hanya untuk Daniel.
Ara merogoh saku seragam dan meraih ponsel miliknya. Ia merasa ragu untuk menghubungi Daniel, karena sangat jarang lelaki itu akan membalas atau mengangkat telepon darinya di sore hari seperti ini. Tapi Ara tidak tenang dan merasa sedikit bersalah saat ini. Apa ia coba saja untuk tetap menghubungi Daniel sekarang? Tapi bukankah panggilan darinya memang tidak pernah di jawab oleh Daniel biasanya.
Yang ia tau, Daniel sedang sibuk. Tentang sesuatu yang tentu lebih penting daripada bicara dengannya.
tbc....
Haii... DANIEL udah sejauh ini ternyata. Tapi biar seru, gimana kalo kita main tebak tebakan.
Sejauh ini, menurut pendapat kalian, siapa main antagonis nya? Alasannya apa??
Semangat semuanya 💪
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...