73

1.4K 213 2
                                    

Daniel yang berlumuran darah itu tiba di rumah sakit yang merupakan kekuasaan Barack dalam kondisi tak sadarkan diri. Setelah kehilangan banyak darah dan insiden ledakan di mansion itu, kondisi Daniel melemah.

Rina menyambut kedatangan Daniel yang di temani oleh Farrel dengan wajah tegang dan pucat, juga beberapa anak buah nya yang terluka. Ia meneliti kondisi Daniel sebentar sebelum akhirnya memutuskan sesuatu.

"Siapkan ruang operasi, sekarang!" Rina memberi perintah, seorang perawat yang paham langsung berlari untuk melakukan tugasnya.

Sedangkan Daniel langsung di giring ke ruang operasi untuk menghentikan pendarahan di perutnya akibat tusukan Jerome tadi.

Saat Daniel akan masuk ruangan, Farrel yang tampak panik itu mencoba memaksa untuk ikut masuk. "Maaf, anda tidak boleh masuk."

"Tapi, Daniel..."

"Dia pasti baik baik aja." Potong Rina sambil menarik pelan tubuh Farrel menjauh dari pintu ruang operasi.

"Tapi gue mau liat Daniel!" Seru lelaki itu protes.

"Emang apa untungnya lo di dalem? Lo dokter? Daniel gak akan kenapa napa, rel, gak papa. Dia udah di tangani dokter terbaik, lo gak perlu khawatir."

Farrel melotot ke arah Rina dengan galak selama beberapa detik, tapi kemudian ia memutar badannya sambil menyugar rambutnya kasar dan menghela nafas keras. Kata tidak apa apa yang Rina katakan tidak membuatnya tenang sedikitpun. Karena Farrel lah Daniel jadi seperti ini.

Ia mondar mandir tidak bisa diam memikirkan kondisi Daniel di dalam ruang operasi. Apa lukanya parah? Daniel akan selamat kan? Astaga bagaimana ini?

Farrel mendudukkan dirinya di kursi tunggu tak jauh dari sana dan mengusap wajahnya kasar hampir frustasi. Rasa khawatir tidak bisa di lepaskan dari hatinya, Farrel sangat tidak tenang saat ini.

Rina yang berada tak jauh dari sana pun ikut merasakan kegelisahan yang di rasakan Farrel, ia juga khawatir dengan kondisi Daniel tapi ia tidak boleh menunjukkan nya. Ia harus tenang agar semua orang tidak bertambah panik dan khawatir.

Ia menatap Farrel yang diam dengan tatapan matanya terarah pada pintu ruang operasi yang tertutup. Lelaki itu menopang dagunya dengan kedua tangan yang saling menggenggam, bibirnya pucat pasi dengan wajahnya yang tidak biasa. Pakaian nya juga nyaris tak layak pakai, mungkin karena ledakan yang tadi di katakan oleh anak buahnya di sambungan telepon.

Ia juga bisa melihat luka panjang sayatan di lengan kirinya, dan beberapa luka kecil di tubuh Farrel yang kini hanya terbalut kaos putih yang kotor oleh noda darah. Rina menarik nafas sekali miris dengan ini, astaga kejadian buruk apa yang terjadi pada mereka.

Ia pergi mengambil peralatan untuk mengobati Farrel, karena dalam kondisi ini ia yakin Farrel tidak akan mau pergi ke ruang perawatan meski di seret sekalipun.

***

Farrel berjengit dan langsung menepis kala ia merasakan sensasi dingin menjalar di tangan kirinya. Matanya menyorot tajam pada gadis yang duduk di sisinya sambil memangku peralatan medis. "Lo juga harus di obati." Ujarnya sebelum berusaha mendekatkan kapas alkohol yang ia pegang pada luka Farrel.

Bukannya menurut, Farrel malah bergeser menjauh dan menyembunyikan luka miliknya. "Gak usah." Ujarnya ketus. Kemudian ia kembali menoleh pada pintu ruang operasi yang tertutup itu.

Rina berdecik tak habis pikir dengan kekeras kepalaan Farrel, tapi kepalanya juga lebih keras dari ini. Karenanya ia kembali mendekati lelaki itu dan tetap bergerak untuk mengobati nya.

"GUE BILANG GAK USAH!" Bentaknya sambil berteriak.

"LO JUGA TERLUKA BEGO! EMANG KALO LO LIATIN PINTU ITU TERUS DANIEL BAKAL SELAMET GITU? PIKIRIN DIRI LO JUGA!" Teriak Rina tak kalah sewot.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang