Ara menjauhkan wajahnya dengan gerakan cepat, saking syok nya sejak tadi ia hampir tidak sadar kalau jarak ujung hidung keduanya bahkan tidak sampai 3 cm. "A-aku cuma nanya dibawah alis kamu kenapa, ka-kamu malah..."
"Bukannya dari tadi kamu liatin bibir aku?" Sungut Daniel membela diri.
Bibir Ara bergerak siap menyanggah ucapan Daniel, tapi ia tidak menemukan ide apapun untuk membantah. Yang Daniel katakan memang benar tapi bukan berarti Ara ingin.. argh gila! Ara bisa gila lama lama.
"Luka? Bagian mana?" Tanya Daniel mengalihkan pembicaraan. Ia sadar kalau Ara tidak ingin membahas kelakuan isengnya barusan. Ia lantas menunjuk ke arah alisnya, lalu di benarkan oleh Ara.
"Kamu pernah jatuh ya?" Tebak Ara.
"Oh itu dulu, aku pernah kepeleset di rumah. Aku nolak mandi padahal abis hujan hujanan dan lari dari mama, jadinya jatuh ke bentur meja."
Ara meringis mendengarnya. Pinggangnya juga sakit jika ia membentur meja tanpa sengaja. Apalagi kepala Daniel beradu dengan meja pasti sakit. Ara berinisiatif mengusap bekas luka itu, meskipun kejadiannya lama tapi kalau di ingat pasti ngeri waktu itu.
"Pasti sakit." Ujar Ara disela sela aktifitas nya mengusap lembut luka itu. Seolah merasakan rasa sakit yang Daniel alami dulu, wajahnya berubah sendu.
Daniel mengangguk lalu tersenyum tipis. "Kamu tau, padahal aku gak suka nangis tapi karena itu berhari hari aku nangis gak mau berhenti. Mama sampe janjiin apa aja biar aku gak nangis lagi." Lelaki itu tertawa ringan diantara ceritanya.
"Aku jadinya minta yang aneh aneh dan akhirnya di marahin papa karna manfaatin mama." Dari cerita Daniel, Ara yakin kalau Daniel dulu di penuhi oleh cinta kedua orang tuanya.
Melihat bagaimana bersinarnya tatapan Daniel kala bercerita perihal mamanya, meskipun ia sempat mengatakan kalau ia tidak suka di rumah karena papanya, nyatanya tawa Daniel berkata lain. Cinta memang bisa di sembunyikan tapi tatapan mata tidak bisa berbohong. Daniel mencintai keluarganya.
Momen bahagia mereka pasti sangat membekas dalam ingatan Daniel. Entah kejadian buruk apa yang pernah di alami lelaki ini sampai pandangan nya berubah tentang keluarganya. Memikirkan itu, Ara merasa miris sekaligus iba.
"Kamu sayang banget ya sama mama papa kamu Daniel?"
Entah di bagian mana pertanyaan Ara yang salah, tapi Daniel tak langsung menjawab. Lelaki itu menghela nafas terlebih dulu sebelum menatap Ara, beberapa detik ia menatap lurus tanpa ekspresi apapun. Tapi setelahnya ia tersenyum tipis lalu mengangguk ringan.
Melihatnya Ara lantas kembali mengelus sisi wajah Daniel dan tersenyum. "Orang tua kamu pasti orang baik." Ujarnya.
Daniel mengangkat sebelah alisnya tidak paham dengan pertanyaan demikian. "Kenapa kamu bilang gitu?" Tanya Daniel.
"Karena mereka punya anak yang baik."
Sedikit dari lubuk hati Daniel terasa berdenyut. Kata baik itu sama sekali tidak menggambarkan diri Daniel. Bagaimana bisa Ara menyebutnya begitu padahal dia sama sekali tidak tau siapa Daniel yang sebenarnya. Apa jika Ara tau identitas asli Daniel, dia akan tetap berpendapat demikian?
Jika Ara tau kebenaran seorang Daniel, apa dia masih mau tetap bersamanya bahkan berjarak sedekat ini dengannya? Apa Ara akan selalu menjadi orang yang mendukung nya seperti ini?
Gerakan tangan Ara terhenti dari mengusapi rambut dan wajah Daniel kala tangan besar lelaki itu meraih tangannya yang kurus. Remasan ringan dari tangan Daniel membuatnya heran.
Ia pandangi wajah Daniel yang tanpa ia sadari sudah tak lagi tersenyum seperti tadi, wajah itu berubah sendu dan seakan sedang merasa bersalah.
Daniel menghela nafas lalu bangkit dari posisinya, tangannya yang lain bergerak mengusap pipi Ara. Meskipun sedikitnya Ara bingung dengan kelakuan Daniel tapi ia tidak mau merusak mood lelaki yang tampaknya sedang merasa buruk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...