Dengan pikiran yang melayang jauh pada kejadian malam di mana ia akhirnya secara terpaksa bekerja dengan seorang pemuda kejam tanpa pernah ia kenal siapa, yang menawarinya pekerjaan sebagai pembunuh bayaran, Kai merasa hidupnya tidak bisa tenang untuk meninggalkan adiknya sendiri, kapanpun. Ia selalu memasang waspada di manapun saat bersama adiknya. Ia tidak peduli dengan hidupnya, tapi adiknya yang berharga tidak boleh terluka.
Berulang kali saat Kai berusaha untuk melepaskan diri dari pekerjaan itu, maka adiknya langsung terkena musibah. Entah terserempet mobil, jatuh dari tangga, kebakaran kecil di rumah, dan yang lainnya. Sebisa mungkin Kai selalu ingin adiknya ada di dekatnya. Hanya adiknya lah satu satunya keluarga yang tersisa, dan Kai tidak mau kehilangan dia.
"Kak makan dulu yuk."
Kai menoleh, dan menemukan adiknya berdiri di ambang pintu dengan senyuman. Kai melempar senyum ke arahnya dan merangkul adiknya untuk makan bersama.
Saat makan, matanya tak bisa lepas untuk memandangi wajah adiknya yang ceria. Gadis belia itu selalu banyak tersenyum yang membuat hari Kai tidak pernah jadi membosankan.
"Abis ini pergi jalan jalan yuk kak, bosen masa di rumah mulu."
Kai mengangkat wajahnya dan memandang adiknya itu. Lalu menggeleng menolak. "Di rumah aja. Jangan pergi keluar. Kalo kamu kenapa kenapa gimana?"
Bian, adik Kai tak bisa untuk tidak menghela nafas lelah karena keinginan nya di tolak. Selalu di tolak. "Ayolah kak, kali iniii aja. Kan ada kakak bareng aku. Yaah." Sebisa mungkin Bian memasang wajah seiba mungkin di mata kakaknya yang posesif ini.
Kai masih terus menggeleng meskipun ia sudah cukup gemas dengan Bian yang tampak begitu lucu. Ia pergi ke dapur untuk menyimpan piring kotornya, juga untuk lepas dari godaan adiknya.
"Kak, mau yah. Gak lama kok, masa sebulan penuh aku di rumah mulu. Tau jenuh kan kak?" Nada bicara Bian mulai tampak kesal.
"Kakak bilang engga, ya engga Bian. Kamu mending belajar aja sana."
Bian langsung menghentakkan kakinya ke lantai karena kesal. Lalu pergi dengan cepat menjauh dari kakaknya yang menyebalkan. Kai hanya menghela nafas melihat adiknya pergi dengan wajah yang marah.
Ia menyusul Bian ke kamarnya yang sudah tertutup rapat. Dan terkunci. Lagi lagi Kai menghela nafas lalu mengetuk pintu itu hati hati. "Bian." Panggilnya.
Tidak ada jawaban. "Maafin kakak ya, tapi jangan ngurung diri gini. Buka pintunya Bian." Masih tidak ada jawaban.
Kai memutar otaknya memikirkan cara untuk membujuk adiknya itu. "Kakak dobrak nih ya." Masih tetap bergeming. Bian itu kekanakan.
"Oke. Kakak ngalah." Ia menghela nafas pasrah. "Tapi jangan kejauhan apalagi kelamaan. Buka pintunya Bian."
Tak berapa lama terdengar langkah kaki yang tergesa dan pintu kamar terbuka. Bian tersenyum lebar kala memunculkan kepalanya di pintu ke arah Kai. "Tunggu bentar aku ganti baju dulu." Kai mengangguk.
Selama perjalanan ke tempat yang Bian inginkan, gadis yang punya senyum manis itu terus saja membicarakan soal teman perempuan nya yang ingin berkenalan dengan Kai, kakaknya. Dan dengan jawaban yang sama yang selalu Kai katakan, ia selalu menolak.
Hal ini membuat Bian kesal sendiri, karena setiap hari ia di bom bardir oleh teman temannya karena sangat ingin dekat dengan kakaknya yang luar biasa menyebalkan dan sulit sekali di luluh kan ini.
"Sekali doang, kakak tinggal bales chat dia terus kalo ngerasa gak cocok ya udah gak usah di tanggepin lagi." Kai tetap pada pendiriannya untuk menolak. Seberapapun sering Bian membicarakan tentang teman temannya, Kai tetap tidak tertarik sama sekali.
"Sekali doang kak, apa susahnya."
Kai menghentikan langkahnya yang membuat Bian menghadap padanya. "Susah. Ngurus kamu aja susahnya minta ampun, apalagi ngurus satu lagi cewek yang pastinya sama riweh nya kayak kamu."
Bian berdecak kesal. Tapi ia maklum dengan kakaknya yang kelihatan kerepotan hanya karena menjaganya. Padahal Bian merasa ia tidak perlu penjagaan berlebih dari kakaknya ini. Ia sudah SMA, sudah besar dan ia bisa menjaga dirinya sendiri. Kakaknya saja yang rempong.
"Jadi stop, ngasih nomor kakak ke temen temen kamu, karena kakak gak suka." Memandang mata kakaknya yang biasanya lembut berubah tegas membuat Bian terdiam. Ia mengangguk pelan dan kemudian menunduk.
Melihat adiknya yang menunduk, ia tak ayal langsung mengusap kepalanya lembut seolah meminta maaf karena berkata keras padanya.
Tapi sesaat kemudian ia menangkap sosok seseorang di belakang Bian yang sedang berjalan sendirian dan tampak lesu. Bibirnya secara spontan menyebutkan nama orang itu.
"Ara." Bian yang mendengar kakaknya memanggil seseorang dan memandang ke arah belakangnya, langsung berbalik. Seorang gadis bersweater biru langit sedang berjalan ke arah mereka.
Secara tidak sengaja mata Kai dan Ara beradu. Langsung membuat Kai melempar senyum ke arah Ara begitupun dengan gadis yang berjalan sendirian itu. Ara berjalan cepat menuju Kai kemudian menyapanya dengan senyuman.
"Kai." Panggilnya.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Kai, ia masih tersenyum.
"Cuma jalan jalan aja." Jawab Ara diiringi senyuman.
Bian yang berdiri di tengah tengah keduanya memandang bergantian pada kakak nya yang tersenyum ke arah gadis ini, begitupun dengan gadis bersweater biru ini. Dari senyuman kakaknya tampak begitu senang melihat gadis ini. Karena penasaran, Bian menyenggol lengan kakaknya dan menaikkan satu alisnya memberi isyarat bertanya.
"Ra, ini adek gue. Bian." Ujar Kai sambil menunjuk ke arah Bian di sampingnya. Ara langsung tersenyum hangat ke arah Bian yang masih tampak bingung. Kemudian mengulurkan tangannya.
"Ara."
Bian langsung menyambut tangan Ara. "Bian. Kakak siapanya kakak ku ya?"
Kai melotot ke arah Bian yang bisa bisanya bertanya begitu pada Ara bahkan saat mereka baru bertemu. Ara tersenyum saja.
"Temen sekolah nya Kai." Jawab Ara.
"Ooooh temeeen." Ujar Bian dengan senyuman meledek ke arah Kai yang masih melotot padanya. Kemudian memasang senyum mengejek pada Kai.
"Dia cantik ya kan kak." Puji Bian, ia menyenggol tangan Kai bermaksud menggodanya.
Ara yang mendengarnya hanya tersenyum. "Oh pantes gak mau di kenalin ke temen aku, punya temen secantik ini ternyata." Ejek Bian pada Kai. Pemuda itu melotot memperingati Bian untuk lebih sopan, tapi gadis itu malah menjulurkan lidahnya.
"Kakak sendirian kan? Kakak bareng kita aja." Tawar Bian sambil menatap Ara antusias bahkan ia sampai menggenggam tangan Ara. Bian melirik pada Kai meminta izin. "Boleh kan kak?"
"Boleh lah, gak baik biarin cewek jalan sendirian." Jawab Bian atas pertanyaan nya sendiri. Ia langsung menggandeng mesra tangan Ara seakan sudah sangat dekat dengannya.
"Harusnya kamu nanya Ara nya, mau atau engga. Jangan asal mutusin sendiri."
Bian menatap Ara dengan tatapan melas. "Kakak mau kan?"
Ara yang bingung, melirik sebentar pada Kai di belakang Bian. Tersenyum canggung karena mata Bian tampak penuh harapan. Tidak mau membuat Bian kecewa dan senyum manisnya luntur, Ara mengangguk mengiyakan. Bian sontak bersorak senang karena merasa menang dari kakaknya.
"Asik." Heboh Bian yang membuat Ara tersenyum gemas. "Kita harus nonton bareng, aku yang pilih filmnya." Setelah mengatakan itu Bian langsung pergi dengan cepat menuju bioskop yang ada di pusat perbelanjaan ini.
Kai geleng kepala melihat adiknya yang sangat semangat. Ia tak bisa menahan senyum bahagia karena melihat adiknya yang ceria baik baik saja.
Di dekat Kai, Ara tak bisa untuk tidak ikut tersenyum melihat interaksi hangat dari kakak beradik ini. Ara langsung teringat pada bang Reno yang selalu menuruti apapun yang Ara inginkan, seperti inilah enaknya punya seorang kakak laki laki. Di lindungi dan di sayangi. Dua hal yang membuat hidup adik perempuan jadi lebih menyenangkan.
tbc....
Apa kabar semuanya?? Lama banget gak up ya kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...