Daniel tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan tangannya yang sibuk pada laptop nya yang sedang menampilkan tampilan situs hitam. Lalu secara tiba tiba sebuah ponsel disodorkan di depan wajahnya.
Ia menatap pemilik tangan besar yang gendut itu dan melempar tatapan heran. Sedangkan orang itu melihat pada sisi lain, enggan balik menatap Daniel.
"Apa nih?" Tanya Daniel. Wajah nya datar tak berekspresi, juga pucat. Jangan lupakan ia baru sadar dari pingsannya kemarin sore. Tapi pagi ini ia memaksa dirinya untuk kembali bekerja kayaknya orang gila gaji.
"Buat lo." Jawab orang itu.
Daniel mendengkus sekali tapi ia kembali fokus pada laptop nya acuh dengan kehadiran orang itu. "Gak perlu, gue gak butuh."
Orang itu berdecak, lalu duduk di tepi ranjang yang di tempati Daniel. Kemudian meletakkan ponsel yang ia bawa di pangkuan Daniel dengan sengaja dan bersidekap dada setelah nya.
"Udah ada nomer cewek lo di sana."
"Nyogok gue lo? Gak perlu." Jawab Daniel sombong lalu ia melempar benda kotak tipis itu tanpa beban ke arah Farrel yang tidak siap. Alhasil benda itu jatuh karena Farrel tidak terlalu sigap dengan gerakan tiba tiba Daniel, untung saja ada karpet bulu di sana hingga benda itu tidak lecet.
"Gila lo! Ini hp mahal tau! Pake duit gue ini, hargain dikit kek." Gerutu Farrel bersungut-sungut, sambil mengusapi ponsel mahal yang ia beli memang untuk Daniel.
"Ngerasa bersalah lo bakar hape gue sampe beliin baru? Gak usah, gue juga banyak duit. Lebih banyak dari lo."
Farrel memutar matanya jengah mendengar itu, tapi kemudian ia menghela nafas. Farrel kemudian melirik sekilas ke arah Daniel yang fokus pada layar laptop. "Kerja mulu lo, istirahat. Lo baru sadar kemaren jangan maksain."
Mendengar hal itu Daniel sontak menatap sinis pada Farrel. "Sumpah jijik lama lama gue sama omongan lo. Pergi sono lo!" Ujar Daniel sambil mengibaskan tangannya memberi isyarat pada Farrel untuk pergi.
"Gue serius. Kasian badan lo, lagian gak perlu lo semua yang urus. Istirahat lebih lama gak bakal bikin lo jadi mumi."
"Udah?"
"Udah apa?"
"Bacot! Pergi sana, ada lo gue naek darah mulu."
Farrel menghela nafas mencoba tetap bersabar. Untung saja dia Daniel, kalo bukan, rasanya pengen tak HIIIIH! Harus sabar benar menghadapi Daniel yang keras kepalanya mulai kambuh seperti ini. "Kemaren, Ara nangis di depan rumahnya. Terra yang bilang."
Daniel terdiam. Ia membeku, tangannya yang semula sedang ngetik mendadak berhenti dan melamun. Ara. Gadis itu. Ah benar sudah berapa lama Daniel tidak bertemu dengannya. Berapa lama Daniel pergi tanpa kabar. Ara pasti khawatir.
"Lo yakin gak mau ketemu dia?" Daniel menoleh lalu menatap Farrel.
"Gue gak boleh ketemu dia kan?" Tanya Daniel dengan nada murung. Lihatlah wajah pucat itu, seakan darah tidak mengalir dalam tubuhnya. Dan lo gak baik baik aja karna itu. Batin Farrel.
Farrel mengangguk sekali. Tapi sejurus kemudian ia kembali menyodorkan ponsel yang sejak tadi ia genggam. "Gue udah ngomong sama papa lo. Dia ngasih lo waktu buat pamitan sama Ara, sampe James Park ketemu, setelahnya lo harus balik ke Amerika tanpa bantahan."
Satu beban terangkat. Daniel jadi merasa nafasnya tidak seberat sebelumnya. Sesak yang ia rasakan kini tidak begitu menyesakkan. "Papa gak akan nyakitin Ara kan?"
"Engga. Jaminannya gue." Farrel tersenyum lembut, lalu menepuk bahu Daniel beberapa kali. "Buktiin sama dia, lo bisa Niel. Lo gak akan kehilangan Ara, buktiin sama gue kalo lo mampu jagain Ara."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...