12

27.2K 2.9K 24
                                    

Ara terus meringsek menjauh. Benar benar menjauh dari jangkauan Daniel. Rasa perih di pergelangan tangannya mendadak terlupakan karena ia ketakutan sekarang.

Ara terus memperhatikan pergerakan Daniel yang bergerak maju. Astaga, harusnya Ara jujur saja tadi.

Ara berniat bicara tapi Daniel meraih tangannya dan menariknya keras untuk mendekat. Ara mencoba menghindar tapi Daniel lebih dulu menindihnya.

Kedua tangannya berada dalam genggaman tangan kanan Daniel dan diletakkan di atas kepala Ara. Nafas Ara tersengal serasa tertindih sesuatu yang besar.

Mata kelam Daniel menakutkan. Ara meruntuki dirinya yang sangat angkuh tadi.

Baru saja ia akan bicara, Daniel lebih dulu membungkam Ara. Daniel menciumnya kasar.

Ara bergerak memberontak mencoba menghentikan Daniel. Tapi Daniel semakin memperdalam ciuman itu. Bahkan ia semakin menghimpit Ara membuatnya kesulitan bergerak.

Daniel tidak berbohong atas ucapannya.

Lelaki itu tidak peduli pada Ara yang bahkan sudah hampir menangis. Ara menggelengkan kepalanya meski kesusahan, ia kehabisan nafas. Tapi Daniel tidak mengerti.

Tak berapa lama Daniel menjauh wajahnya sedikit. Sontak membuat Ara menghirup udara sebanyak yang ia mampu. Mengisi lagi paru paru nya.

Nafasnya tersengal begitupun dengan Daniel. Wajah Ara memerah kesal. Daniel benar benar kejam.

Satu bulir air mata Ara jatuh begitu saja. Kemudian ia terisak mulai menangis.

Melihat tangisan Ara, wajah Daniel mulai melunak. cengkeraman di kedua tangan Ara mengendur bahkan terlepas. Ara langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Daniel memerjap bingung. Ia tidak tau harus bagaimana. Tangisan Ara semakin keras dan membuat Daniel panik. Ia segera bangkit dari posisinya dan berdiri gusar di tempatnya.

Ia mengacak rambutnya, menyadari satu hal. Daniel kau berlebihan.

"Hei, jangan nangis." Ujar Daniel dengan raut bingung. Ia bahkan sampai bergerak tidak jelas sekarang.

"Hei gadis bodoh, jangan nangis." Daniel menjambak rambutnya keras. Astaga ia panik sekarang.

Daniel mencoba menyentuh tangan Ara yang menutupi wajahnya. Tapi ia urungkan karena bingung harus apa.

"Berhenti nangis atau.." atau apa, Daniel juga tidak tau. Akhirnya ia malah duduk di pinggir ranjang dan menunggu Ara.

Biarkan saja gadis itu menangis sepuasnya. Nanti juga akan berhenti sendiri jika dia lelah. Begitulah pikiran Daniel.

Dia terus memperhatikan Ara yang terbaring sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Masih menangis.

10 menit berselang tangisannya mereda hanya tinggal isakkan nya saja. Daniel bosan menunggu.

"Hei.. udah dong nangis nya?"

Tidak ada jawaban. Gadis itu masih diam saja. Daniel mulai kesal.

"Hei gadis bodoh, jawab."

"Berhenti manggil aku gadis bodoh, dasar kurang ajar." Ujar Ara. Ia langsung duduk kerena kesal.

Daniel kaget. Berani sekali gadis ini mengumpati nya.

"Lo..."

"Apa!? Kamu bakal ngelakuin hal lebih dari tadi? Dasar mesum."

"Lo bilang apa!?"

Ara malah menatap Daniel dengan berani. Lagipula ia tidak melakukan kesalahan. Daniel lah yang berbuat kejahatan.

"Bukannya kamu harus minta maaf sekarang."

"Maaf?" Daniel tersenyum miring. "Gue gak mau minta maaf sama lo. Gue gak suka minta maaf."

"Maka belajar dari sekarang." Ara bergerak menjauh dari Daniel. Tidak jauh memang tapi setidaknya menjaga jarak aman kalau kalau Daniel bergerak tidak terduga.

Ara menunduk, kemudian menghela nafas menetralkan sesuatu aneh di dalam dirinya. Kejadian barusan merenggut setengah kesadarannya. Daniel memang gila.

"Soal cowok tadi. Dia kakak tiri ku. Jadi berhenti curiga dan ngancem dengan kalimat 'bisa melakukan lebih dari tadi', itu benar benar menjengkelkan."

Daniel tertohok. Kakak tiri? Daniel tidak berfikir demikian. Ia kira lelaki tadi itu selingkuhan Ara atau bahkan...

"Kakak tiri?"

Ara mengangguk. Ia melirik pada respon Daniel yang diam. Lihat kan lelaki itu memang tidak berpikir panjang.

"Lo pasti bohong."

"Terserah. Aku gak peduli kamu mau percaya atau enggak. Tapi dia beneran cuma kakak tiri ku." Ara mengelap air mata di pipinya. Senggukkan nya sudah mereda bahkan menghilang. Ia sudah tenang sekarang.

"Tadi aku bolos bekerja karena hari ini ulang tahun ayah. Jadi aku pergi ke rumah ayah buat rayain bareng."

Daniel diam mencerna semuanya. Jadi dia cuma salah paham. Daniel mulai menyesal bahkan mengutuk dirinya yang termakan pikiran anehnya. Tentang Ara yang mungkin saja selingkuh dengan lelaki itu.

"Kenapa lo gak bilang tadi?" Daniel menatap mata sembab Ara. Ia tidak mau dibohongi.

"Karna kamu yang emosi dulu. Aku gak tau harus jelasin gimana. Bahkan kamu nuduh yang enggak enggak. Jelas aku kesel sama omongan kamu."

Bagaimana tidak kesal. Daniel menuduhnya dengan tuduhan tidak beralasan.

"Tapi lo bisa jelasin langsung. Kenapa harus bilang bukan urusan gue!" Daniel tidak terima. Jadi dia yang salah disini?

"Makanya dengerin dulu bukan malah motong omongan orang. Terus parahnya pake nuduh sembarangan." Ara menghela nafas. Daniel baru hendak menjawab tapi Ara lebih dulu bicara.

"Biasain buat denger penjelasannya dulu. Baru ngehakimi." Ujar Ara melunak. Bersitegang dengan manusia keras kepala seperti Daniel.

Ara berdiri hendak pergi. Tapi Daniel meraih tangannya. Menatapnya dengan tatapan tanya.

"Mau kemana?"

"Mau ganti baju. Dan Daniel, itu sakit."

Daniel sontak melepas genggamannya. Diliriknya pergelangan tangan Ara memerah karena ulahnya. Ia mulai merasa tidak enak hati.

Ara berlalu dari sana dan mengambil baju di lemari kemudian pergi dari kamar itu.

Di kamar, Daniel meremas rambutnya. Merasa marah dengan dirinya sendiri. Dia marah karena prasangka nya, melukai gadisnya, bahkan hampir bertindak jauh. Harusnya dia tidak begitu.

Dasar bodoh.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang