38

9.1K 934 17
                                    

Berjalan berdampingan, dengan tawa yang sesekali menguar diantara keduanya. Siapapun yang melihat mereka akan berfikir kalau mereka memiliki hubungan lain selain teman. Tawa renyah dari Kai menjadi hiburan tersendiri untuk Ara. Mereka berjalan kaki selepas turun dari angkot, sampai ke rumah Ara sesuai janji Kai tadi.

Lelaki itu banyak menceritakan tentang kejadian lucu di klub yang di ikuti nya. Pengalaman menyenangkan yang mengundang tawa bagi Ara. Tanpa sadar ia banyak tertawa dan tersenyum di dekat Kai. Meskipun sebongkah rasa aneh di hati Ara, mengingat ia dan Kai tidak sedekat itu untuk menghabiskan waktu berharga seperti ini.

Rumah Ara sudah terlihat. Tapi sisa tawa dari keduanya belum reda. Sampai Kai dan Ara berdiri di depan gerbang rumah Ara, tawa itu menghilang tergantikan oleh senyuman yang tergambar di wajah masing masing.

"Makasih udah anterin aku." Ujar Ara, senyumnya belum hilang.

"Gak masalah." Balas Kai yang masih tersenyum manis di tempatnya. Ia bisa melihat mata coklat terang Ara berbinar dan terlihat cantik bahkan dibawah sinar matahari yang bersinar terik.

"Kalo gitu, aku masuk dulu ya. Kamu hati hati pulang nya." Ara berusaha sesopan mungkin pada seniornya. Ara mengambil langkah untuk masuk ke area rumahnya, tapi tangannya ditahan oleh Kai.

Ara berbalik, dan menatap penuh heran pada Kai yang tampak canggung. "Kenapa?" Tanya Ara.

"Em, Ra gue boleh minta nomer lo gak?" Ujar Kai dengan nada sungkan. Ia terlihat gugup, dan itu malah mengundang senyum Ara.

"Jangan salah paham, gue masih punya banyak pertanyaan buat lo. Takutnya.."

Mendengar Kai banyak bicara seolah mengutarakan alasan membuat Ara tanpa bisa di tahan malah tertawa games. Kai juga ikut ikutan tertawa.

"Boleh kok. Asal jangan yang susah susah pertanyaan nya."

Kai menyodorkan ponselnya pada Ara tanpa bisa menahan senyum merekah di wajahnya. Saat gadis itu sedang mengetikan nomer hape nya, tanpa bisa di kontrol senyum semakin melebar menghiasi wajah Kai. Ia tak bisa menahan bahagia karena Ara menaruh percaya padanya. Tak lama, Ara kembali menyodorkan ponsel Kai pada pemiliknya dibarengi senyuman.

"Kapan kapan gue boleh hubungin lo kan?" Tanya Kai, wajahnya tidak bisa bohong. Dia tampak bahagia.

Ara mengangguk semangat. Ia mengulum bibirnya, lalu memandang objek yang lain selain Kai. Ia bisa salah tingkah nantinya.

"Kalo gitu gue pamit ya Ra. Makasih." Ujar Kai sambil mengangkat ponsel di tangannya dan mulai berjalan mundur perlahan. Ia melambaikan tangannya sambil terus tersenyum.

Ara balas lambaian tangan Kai. "Hati hati Kai."

Ucapan itu di balas deheman oleh Kai. Ia berjalan mundur menjauh dan masih melambaikan tangan ke arah Ara. Sontak hal itu membuat Ara semakin merasa gemas, Kai itu lucu dan jenaka. Sampai Kai tidak terlihat oleh matanya, Ara baru berbalik masuk kerumahnya.

Matanya mendadak melebar melihat sosok manusia berdiri di ambang pintu rumah dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan. Dia menatap Ara tajam, benar benar tajam sampai Ara merasa kesulitan bernafas. Dengan segan Ara mendekati orang itu, meskipun ia takut hal yang pernah terjadi terulang. Ara dalam masalah sekarang.

"Daniel... I... Itu..."

"Masuk!" Setelah mengucapkan kata itu, Daniel berbalik meninggalkan Ara yang tengah berfikir keras. Cara terjitu untuk melunturkan amarah Daniel. Ara mendesah pasrah karena kepalanya hanya memikirkan hal yang terjadi kala ia di antar pulang bang Reno dulu. Bagaimana reaksi Daniel kala itu. Apa yang terjadi kali ini? Ah Ara harus apa?

****

Kali ini giliran Ara yang menguntit di belakang Daniel, mengikuti kemanapun lelaki itu bergerak. Daniel tidak bertindak seperti dulu, tapi lebih banyak diam dan tampak meredam emosi. Hal ini malah mengganggu Ara. Bukan berarti dia lebih suka Daniel yang berlaku kasar dan suka menuduh tapi kali ini merasa Daniel bukan Daniel yang biasanya. Ini aneh.

Ara duduk tepi ranjang, di dekat Daniel yang sibuk dengan game dari ponselnya. Ia bingung harus bicara apa dengan Daniel soal tadi di depan pagar rumah. Apa Daniel melihat semuanya? Kenapa Daniel diam saja? Ah tapi bagaimana kalau Daniel sedang merencanakan hal tidak baik untuknya? Siapapun tolong Ara.

"Da... Daniel." Panggil Ara dengan suara pelan. Matanya terus bergerak mengamati setiap pergerakan Daniel yang pasif. Ia takut Daniel marah dan itu mengganggu Ara.

Daniel diam, matanya sibuk dan fokus dengan ponselnya. Ara mendesah kecewa. Daniel mengabaikan nya. Ia menunduk bingung harus apa. Sampai entah bagaimana tapi ide muncul begitu saja di kepalanya. Ia merebut ponsel Daniel seperti yang ia lakukan pada Ara kemarin malam. Wajah Daniel tampak tidak biasa, wajahnya memerah dan tampak sangat kesal. Ia berdecak keras saat Ara meraih paksa ponsel dari tangannya. Lalu bersilang dada dan memandang ke arah yang lain.

Ara tidak percaya dengan yang ia lihat. Daniel marah padanya. "Kamu marah ya?" Tanya Ara dengan nada halus. Ia bergerak mendekati Daniel berharap lelaki itu terbujuk.

"Maaf." Ara menunduk menyesal. Iya Ara menyesal. Meskipun sebenarnya Ara tidak tau ia harus minta maaf karena apa. Kesalahan yang mana. Beritahu Ara sekarang! Ia salah di bagian mananya?

"Daniel, ngomong dong. Jangan diem aja, aku gak tau harus gimana jadinya." Ara memelas. Ia mencoba meraih tangan Daniel yang terlipat di dada. Tapi lelaki itu kekeh dan masih enggan menatap Ara. Oh ayolah.

"Daniel." Panggil nya lagi. Daniel masih bergeming, bahkan kini ia malah merebahkan tubuhnya dan mulai menarik selimut untuk menutup tubuhnya seperti kemarin saat ia merajuk. Karena tidak mau di abaikan, Ara menarik selimut di genggaman Daniel dan membuangnya sembarangan. Daniel hanya memandang tak suka ke arahnya dan akhirnya berbaring membelakangi Ara.

Ara menghela nafas mencoba bersabar dengan sikap Daniel. Ia menggaruk kepalanya bingung, dan barulah Ara sadar kalau sejak tadi ia masih menggendong tas sekolahnya. Ia berjalan menuju meja belajar nya dan meletakkan tas yang sejak tadi menggantung di punggungnya. Dan kembali duduk di pinggir ranjang tempat Daniel berbaring.

Meskipun ia agak ragu bertindak seperti yang ada di kepalanya, tapi dengan menarik nafas panjang ia bulat pada niatnya.

Ara ikut berbaring dan memeluk Daniel dari belakang. Ia tidak peduli Daniel akan merespon nya atau diam saja. Meskipun Ara tidak bisa memeluk Daniel seperti yang lelaki itu biasa lakukan pada Ara, ia meletakkan tangannya di antara bahu dan leher lelaki itu. Menipiskan jarak antara tubuhnya dan Daniel.

Menarik nafas dan buang. Hal ini terus dilakukan Ara untuk menenangkan jantungnya yang mulai menggila. Ah bahkan seperti nya Ara juga ikutan gila sekarang. Karena dengan berani Ara berbisik di telinga kanan Daniel.

"Sayang." Panggil Ara dengan mesra. Meskipun ia merasa jijik sendiri mengucapkannya.

Baru saja Ara akan melontarkan kalimat yang sudah ia susun di kepala untuk membujuk Daniel, tapi lelaki itu malah berbalik dan balas memeluk Ara erat. Sangat erat. Bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Daniel di hidungnya. Mungkin wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja. Dengan mata gugup dan bergetar Ara mencoba mengutarakan kalimat yang sebelumnya ia susun dalam otaknya tapi ia malah membisu, kalimat itu hilang seketika di ujung lidah. Terganti dengan kegugupan yang membuat Ara mulai berkeringat dingin.

Baik Daniel atau Ara, mereka sama sama menatap satu sama lain. Tak lama Daniel malah tersenyum miring. Ara yang melihatnya langsung meneguk ludah. Daniel...

"Coba ulangi lagi."

Sial Ara menggali kuburannya sendiri.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang