California, sepuluh tahun yang lalu.
Nafasnya memburu. Keringat bercucuran di dahi sampai mengalir membasahi pipinya. Rambutnya lepek basah karena keringat begitu juga dengan pakaian tipis yang melapisi tubuhnya, setidaknya untuk melindungi tubuh kecilnya dari cuaca dingin bersalju malam ini.
Sesekali ia menengok ke belakang, memastikan bahwa orang yang mengejarnya tak datang ataupun mendekat. Setelah di rasa aman, ia berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang mulai sesak. Sebuah bingkisan makanan yang ia curi, memberatkan tangannya yang kecil.
Ia berjongkok untuk memakan makanan hasil curiannya. Tapi belum juga sesuap nasi itu masuk ke dalam mulutnya, sebuah kaki menendang bingkisan itu hingga berhamburan. Dengan tatapan yang takut, ia terduduk di tanah kotor dan dingin, beringsut menjauh sambil terus menatap ke arah orang yang berdiri di hadapannya dengan wajah yang sudah mengeras marah.
"Maaf... maafkan aku." Ujar nya dengan terbata bata. Ia menarik tubuhnya menjauh dari jangkauan orang itu, antisipasi jika hal buruk terjadi. Padahal cuaca sangat dingin tapi ia banyak berkeringat. Hal ini mungkin karena takut.
"Berani sekali kau, mencuri makananku." Ujar orang itu dengan tegas. Membuat bulu kuduknya berdiri. Ia salah. Harusnya tidak ia lakukan pencurian itu meskipun ia harus mati membeku dan kelaparan.
"Maaf..kan aku. Ampuni aku." Ujarnya dengan berlutut. Ia tak lagi berani menatap wajah orang yang mengejarnya ini.
"Kau harus di beri pelajaran." Ujar orang itu dengan menggeram. Ia bersiap mengambil ancang ancang dengan kepalan tangannya yang hampir melayang pada anak itu. Tapi satu tangan menahan kepalan tangan itu hingga menggantung di udara
"Tidak!" Cegah seseorang dari belakang. Orang itu menoleh dan menemukan seseorang familiar menggeleng tanda tidak terima dengan hal yang akan ia lakukan. Ia berjalan perlahan mendekati anak yang berlutut di tanah yang dingin bersalju dengan wajah yang ketakutan.
Ia berjongkok menyetarakan tingginya dengan anak ini. "Tapi Daniel.." protes Farrel di belakang Daniel dengan wajah yang tertekuk sempurna. Daniel hanya menatapnya sebentar lalu mengangguk sambil tersenyum tipis, untuk menenangkan emosi anak remaja itu.
"Siapa namamu?" Tanya Daniel dengan halus pada anak yang masih tertunduk takut ini.
"Te.. Terra." Ujarnya. Senyum hangat merekah di wajah Daniel. Ia mengusap salju di rambut anak itu. Lalu membuka jaket yang ia gunakan, dan memakainya pada anak yang bernama Terra tersebut.
"Apa kau mau ikut denganku?" Tanya Daniel. Terra mendongak dan menemukan sepasang mata kelam yang jernih di sana. Mata yang membuatnya entah kenapa merasa aman.
"Kau tidak akan memukulku kan?" Tanya Terra dengan polos. Daniel tersenyum.
"Tidak. Disini dingin. Aku bisa memberimu lebih banyak makanan jika kau ikut. Kau mau?"
Terra melirik ke arah anak remaja di balik remaja bermata kelam ini yang sedang bersilang dada dan menatapnya tajam. Segera ia mengalihkan pandangannya karena takut.
"Apa kau orang jahat?" Tanya Terra lagi dengan perasaan takut yang di beranikan.
"Iya." Jawab Daniel ringan. Masih dengan senyuman yang sama, hal ini malah membuat Terra bergedig takut.
"Juga tidak." Ujarnya dengan tersenyum yang lebih manis. "Aku menyukaimu. Jadi aku tidak akan menyakitimu."
"Daniel dia mencuri makan malam mu. Dan kau ingin dia ikut. Jangan gila. Dia akan mencuri semua barang barang mu dan lari." Cela Farrel dengan sinis. Ia menatap penuh kebencian pada Terra.
"Ck kau membuatnya takut, dasar bodoh. Dia hanya lapar. Lagipula dia sangat lincah dan kuat. Bukankah itu bagus?" Kata Daniel menjelaskan.
Daniel tersenyum sepenuhnya sambil mengulurkan tangan nya pada anak manis bermata bulat itu tulus. "Aku Daniel. Dan dia Farrel. Kau aman dengan kami."
Gambaran bagaimana pertemuan pertama Terra dengan Daniel saat berusia 9 tahun. Malam yang dingin bersalju menjadi awal bagaimana Terra akhirnya bergabung dengan kelompok keluarga mafia Barack, bahkan menjadi orang kepercayaan.
Di usia belia, ia hidup di jalanan karena kedua orang tuanya membuang Terra tanpa belas kasihan. Harusnya jika tidak menginginkan anak, jangan menikah atau melakukan sex. Maka mungkin ia dan bahkan anak malang lainnya tidak perlu hidup dengan menyedihkan bertahun-tahun. Tanpa rumah. Tanpa keluarga. Tanpa siapapun.
Terra kecil terbiasa mencuri untuk ia makan. Hanya cukup untuk makan. Jika ia kenyang maka ia hanya akan bermain dan belajar. Terra sering datang ke sebuah sekolah terbuka dan memperhatikan dari jauh penjelasan dari guru. Ia tidak berani datang ke sana dan belajar dengan lebih baik. Ia tidak punya apapun untuk menjadi pantas sebagai siswa. Tak jarang jika senggang, ia juga belajar bela diri dari orang jalanan sepertinya.
Terlalu sering mencuri, membuat ia lincah dan terlatih untuk berlari dengan cepat. Tubuhnya yang kecil memudahkan Terra melewati jalan yang sempit dan kecil. Pengalaman nya sebagai anak jalanan membuat ia hapal dengan jalan jalan yang tidak bisa di jangkau siapapun.
Mengingat masa kecilnya yang tidak bahagia membuat Terra merasa membenci dirinya sendiri. Harusnya dulu ia menyerah untuk hidup dan menceburkan diri saja ke sungai yang dalam. Mungkin ia tidak akan punya hidup seperti ini.
Tapi setelah ia bertemu dengan Daniel malam itu, ia menemukan hidup baru yang jauh lebih baik. Berbeda kelas. Daniel memberinya rumah. Menjadikannya sebagai keluarga. Dan memberinya apapun yang ia butuhkan. Daniel yang membawa hidup nya menjadi lebih baik. Berada di jalan yang berbeda.
Hal ini yang membuat Terra akhirnya menyerahkan hidupnya yang tidak pernah berarti bagi siapapun untuk membantu Daniel. Sebagai kaki tangan seorang Daniel Barack. Sebagai temannya Daniel. Dan akan mendukung apapun yang Daniel lakukan, melindungi dia dan tetap bersamanya dalam keadaan apapun. Karena Daniel adalah satu satunya keluarga yang Terra miliki.
Hbd, kth🐿️💝💐
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...