Di atas ranjangnya, Ara sudah berguling guling tak karuan sejak pertama ia datang ke rumah dan berbaring di sana. Suasana kamar ia biarkan gelap karena saking tidak kuatnya menahan histeris.
Kejadian tadi membuat Ara menjadi tidak terkendali. Daniel mengantarnya kembali ke rumah dengan selamat saat jam menunjukan pukul 9 malam. Seperti saat ia pulang kerja biasanya.
Kepalanya terus memutar kejadian hari ini. Dimana Daniel menjemput di sekolah, mengajaknya ke taman, jalan jalan di pasar malam, dan ciuman... Mengingatnya membuat Ara ingin berteriak saja. Tak henti hentinya senyum tergambar di wajahnya. Dia sungguh tampak seperti orang gila sekarang.
Ia melirik pada jam dinding di sana, ini sudah hampir tengah malam dan Ara belum mengantuk. Apa sebesar itu pengaruh Daniel padanya. Kedua matanya masih segar dan hampir tidak mau memejam. Karena jika ia memejam, maka kejadian itu akan terputar secara otomatis di kepalanya. Membuat Ara semakin tidak bisa mengendalikan diri.
Sampai akhirnya ia memilih menatap langit langit kamarnya saja. Bahkan ia tidak mandi hari ini. Wah merupakan hal baru dalam hidup Ara. Tapi entah kenapa ia menyukainya.
****
"Darimana aja lo! Ponsel lo kenapa mati? Gila lo ya, senyum senyum gitu?"
Daniel melirik sebentar pada orang yang barusan mengomel seperti ibu ibu. Lalu mencibir dengan nyata padanya. Dasar bawel.
"Yang mana dulu yang perlu gue jawab."
"Semuanya." Jawab orang itu penuh penekanan.
Daniel tidak menjawab. Hanya berbaring sempurna di kasur empuk dan menatap langit langit. Tidak memedulikan sosok manusia di dekatnya yang menatapnya dengan tajam.
"Heh! Jawab darimana aja lo!" Bentaknya.
"Gue bukan anak kecil. Riweh banget jadi orang."
Orang itu menatap tidak percaya pada Daniel. Tidak terima dengan ucapan orang keras kepala seperti Daniel. Seharian dia uring uringan mencari Daniel dan orang itu cuma bilang kalau dia riweh. Wah lihat orang tidak tau diri ini kembali muncul.
"Lo tau, seharian gue kayak orang gila nyariin lo! Bapak lo sampe maki maki gue karna gak nemuin lo. Dan lo... Wah babi emang lo ya." Suaranya terdengar sangat frustasi. Bahkan saking kesalnya ia sampai mengusap wajahnya dengan tak kalah frustasi dengan tatapannya.
Daniel tidak gentar. Ia malah angkat bahu dari posisinya yang berbaring. Acuh dengan ocehan kawannya barusan. Seakan tidak pernah ia dengar.
"Ya ampun Niel. Gue beneran khawatir sama lo. Gue takut lo ngelakuin hal aneh aneh. Hari ini kan...." Ia menghela nafas, bimbang melanjutkan kalimatnya. Ia takut Daniel merasa tidak baik baik saja setelah kalimat itu diucapkan nya.
"Hari kematian mama." Lanjut Daniel. Paham dengan ucapan temannya. "Gue tau. Dan gue gak papa."
Farrel, orang itu akhirnya melunak dan duduk di pinggir ranjang yang di tiduri Daniel. Menghela nafas lega. Setidaknya Daniel tidak keberatan mengingatnya.
"Gue beneran khawatir Niel. Bisa kan sekali aja hubungin gue. Ngirim kabar singkat, biar gue gak uring uringan. Gue kira lo...." Lagi Farrel menghela nafas. "Gue kira lo bunuh diri tau. Sumpah gue sampe nyari lo ke sungai siapa tau lo lagi ngambang di sana dan gue juga nyari lo di daftar rumah sakit siapa tau kalo lo nyoba loncat dari gedung."
Daniel bangkit dari posisinya. Lalu menatap nyalang pada Farrel. "Gak elit banget matinya, ngambang di kali. Gila lo."
"Ya kan siapa tau. Gue cuma takut, jadi mikir yang aneh aneh. Salah lo gak bisa di hubungin. Gue yang repot tau gak."
Daniel menatap jijik ke arah Farrel yang merengut. Bahkan sampai bibirnya maju. Daniel bergedig melihatnya.
"Kalo di dengar orang, lo bakal di kira pacar gue saking bawelnya."
Farrel balas menatap jijik. "Najis banget punya pacar kayak lo. Gue lempeng ya, jangan mancing mancing."
"Dih dikira gue sudi. Liat muka lu aja eneg gue."
"Apalagi gue. Pengen banget caker muka lo yang najisin sampe kagak berbentuk."
"Main cakar cakaran, lo kira ayam."
"Lumayan, ayam kan enak."
"Makanan aja pikiran lo."
"Lebih baik daripada lo."
Mereka masih saja berdebat di sana. Sampai orang yang bersandar di ambang pintu berdecak sebal. Sambil memegang gelas berisi jus anggur ia menikmati tontonan di tengah malam nyaris pagi buta seperti ini.
Jika dilihat dari jauh, keduanya memang terlihat seperti sepasang kekasih yang berdebat karena hal kecil, tapi malah kelihatan sangat menggemaskan. Keduanya sangat akrab sampai membuatnya merasa iri. Memiliki teman sedekat itu pasti menyenangkan.
Terra tanpa sadar tersenyum miris mengingat ia sama sekali tidak punya teman sedekat itu. Kalaupun ia berteman dengan seseorang maka itu hanya untuk urusan pekerjaan dan sebuah misi. Tidak lebih.
Kadang ia merasa sedikit kasihan dengan masa mudanya yang habis dalam kejadian kotor dan keji. Pembunuhan, perampokan dan hal serupa lainnya sudah menjadi hal biasa dalam hidupnya. Memang tidak pantas baginya untuk meminta pada Tuhan, tapi sebenarnya ia berharap bisa menemukan hal yang akan mengubah hidupnya menjadi tidak se abu abu ini. Iya. Meskipun ia tau Tuhan tidak mungkin sebaik itu padanya. Dengan memberinya takdir seperti ini sudah menunjukkan bahwa Tuhan membencinya. Terra tau itu.
****
Di sebuah ruangan yang redup, karena hanya di terangi sebuah lampu kecil berada di tengah ruangan yang pengap. Seorang pemuda duduk dengan sombong di sebuah kursi usang menatap gambar seseorang di depannya dengan penuh ambisi. Dendam kesumat tampak begitu jelas di matanya.
Tak berapa lama ia beranjak dari posisinya dan berjalan pelan ke arah gambar yang tadi ia pandangi.
"Nikmati hidup lo sepuasnya, gak lama lagi gue bakal ambil semua yang lo punya. Semuanya."
Suaranya nyaring di ruangan itu, kalimat yang ia ucapkan sangat jelas dan bisa terdengar sampai ke luar ruangan. Matanya masih tidak bisa teralih dari gambar di sana, kebenciannya sama sekali tidak bisa di obati atau dikurangi. Semua dimulai oleh orang itu yang menghancurkan semua yang ia punya. Dan akhirnya dendam itu memuncak memaksa untuk dibalas kan segera.
Dia menunjuk tajam ke arah gambar seorang pemuda seusianya di sana. Menatap nyalang seakan orang itu akan terluka karena tatapannya. Wajahnya mengeras memupuk kebencian dalam dirinya agar lebih kuat untuk berhadapan langsung dengan orang itu.
"Daniel."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...