41

12.7K 1.2K 79
                                    

Suara nafas Daniel yang terengah bahkan sampai terdengar oleh semua orang yang ada di ruangan itu. Buku buku jarinya memutih dalam kepalan tangannya seakan semakin memperjelas kalau lelaki muda itu sedang sepenuhnya emosi.

Kepergian Caisar baru saja, mungkin hanya sekitar 2 menit yang lalu. Tapi situasi mencekam karena aura panas amarah Daniel menciutkan nyali semua anak muda di ruangan itu. Mereka hanya diam tertunduk setelah menyaksikan pertengkaran antara ayah dan anak yang memang sudah lama memiliki hubungan yang buruk.

Farrel yang menyadari kalau situasi tidak baik, ia berniat maju dan mencoba bicara dengan Daniel. Tapi belum kakinya terangkat, suara teriakan Daniel juga bunyi barang yang jatuh pecah berai mengejutkan semuanya. Daniel gagal menahan amarahnya, alhasil seluruh barang yang ada di atas meja berhamburan hancur. Seolah tidak puas melampiaskan emosi pada barang barang, meja kaca yang ada di tengah sana di tinju oleh Daniel hingga pecah dan warna merah darah tampak mencolok dari pecahan meja itu.

Keadaan tangan Daniel begitu buruk, pecahan beling kecil tampak mencuat dari kepalan tangannya yang sudah mengucur darah. Meskipun sudah sering melihat emosi Daniel yang meledak ledak, tapi tetap saja Farrel tidak biasa dengan semua ini.

"Jordan, bawa semua anggota keluar." Perintah Farrel pada seorang pemuda yang sejak tadi berada di dekatnya dengan wajah yang tertunduk dalam.

Satu persatu anggota organisasi keluar dari ruangan itu sesuai instruksi Farrel, menyisakan lelaki itu, Daniel dan Terra saja.

Farrel menoleh pada Terra yang tampak pucat, matanya hanya fokus pada kepalan tangan Daniel yang masih meneteskan darah segar. Tatapan khawatir itu, Farrel sadar kalau Terra sangat menghormati dan menyayangi Daniel melebihi hidupnya sendiri.

Farrel menghela nafas sekali mencoba tetap tenang. "Terra, panggil Rina kesini." Panggilan itu ternyata tidak didengar oleh Terra karena nyatanya lelaki itu masih fokus pada Daniel. "Terra!" Bentaknya.

Lelaki itu tersentak dan menoleh. "Panggil Rina." Ulangnya. Awalnya Terra tampak ragu tapi setelah tatapan tegas dari Farrel ia segera keluar dari sana untuk menjemput Rina di rumah sakit guna mengobati luka Daniel.

Setelah menyisakan dua orang saja di ruangan itu, hawa di sana masih terasa mencekam. Farrel akhirnya mendekati Daniel yang masih diam tapi wajahnya sangat tegang itu. "Daniel."

Panggilan itu terdengar halus, tapi dibalas tatapan tajam oleh Daniel. Dengan gerakan cepat Daniel meraih kerah baju yang Farrel kenakan dan mendorong tubuh besar itu dengan kasar. "Lo puas?!" Geram Daniel dengan sorot mata yang tajam menusuk.

Farrel terdiam memahami sesuatu. Alasan Daniel memperlakukan nya begini. "Lo bisa jadi D. Barack beneran sekarang!" Sindir Daniel dengan singgungan senyum yang meremehkan.

"Gue gak ngerti maksud lo Niel." Ujar Farrel sambil berusaha mengendurkan genggaman Daniel dari kerah bajunya. Ia juga berusaha mendorong tubuh Daniel yang sedang dikendalikan oleh amarah.

Suara tawa Daniel terdengar menakutkan memenuhi ruangan itu. "Gak usah sok bego, ngomong apa lo sama papa sampe dia dateng ke Indonesia? Apa yang lo mau?!" Cengkraman itu menguat selaras dengan tajamnya tatapan Daniel.

Pakaian Farrel ternoda oleh darah Daniel yang ternyata tidak sedikit, tangannya memang terluka tapi sepertinya Daniel tidak terlihat peduli. Emosi sudah menguasai nya. "Gue juga gak tau kalo Caisar dateng ke Indonesia."

Sudut bibir Daniel terangkat sinis. "Lo pikir gue percaya?!" Cengkraman itu semakin menguat.

Farrel tidak membalas, bibirnya bungkam enggan menjawab. Terlalu percuma berhadapan dengan Daniel yang sedang emosi.

Tapi tak lama kemudian cengkraman di kerah bajunya mengendur, begitupun dengan tatapan Daniel yang sedikit melunak. Dengan helaan nafas yang terdengar menyiksa, Daniel mendorong tubuh Farrel dan melepaskan cengkraman nya.

DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang