Dengan langkah yang lebar dan tergesa, Kai berlari cepat menuju rumahnya dari tempat ia di sekap kemarin. Dengan menggenggam sebuah ponsel yang di berikan orang itu, Kai melampiaskan rasa khawatir dan cemas yang bercampur jadi satu, mengingat selama dua hari ia tidak pulang ke rumah. Bagaimana perasaan adiknya saat menunggu kakak nya yang tidak pulang berhari hari. Kai juga merasa sangat takut setelah ancaman orang itu untuk mencelakai Bian membuat air mata jatuh dari matanya.
Ia tidak peduli dengan penampilan nya yang berantakan, hancur bahkan seperti orang gila karena memang dirinya hampir menjadi gila karena khawatir. Rasa sakit di tubuhnya tidak berarti apa apa bahkan jika tubuhnya hancur itu tidak sebanding dengan berharganya keselamatan Bian.
Kai langsung menendang pintu rumahnya tidak peduli pintu itu rusak atau apapun, ia langsung mencari keberadaan Bian di dalam rumah. Ia berteriak keras dengan memanggil nama adiknya, dan berjalan cepat memeriksa satu persatu ruangan yang ada di rumah. Di kamar Bian, gadis itu tidak ada, di dapur kosong bahkan di kamar mandi juga. Seruan darinya pun tidak di jawab. Di mana Bian?
Dengan hati yang ketar ketir takut ia berniat menelpon Bian tapi tiba tiba tv di rumahnya menyala begitu saja. Mata Kai langsung membesar melihat Bian sedang terbaring di sebuah ranjang dengan kedua tangan terikat dan matanya tertutup. Amarah yang tidak bisa di kendalikan membuat wajahnya begitu tegang dan rasa frustasi membuat Kai menjatuhkan air matanya lagi. Bian tidak baik baik saja.
Sebuah telpon dari ponsel yang di genggam nya dengan nama Tuan Park tertera di layar membuat Kai tak bisa lagi menahan amarah. "LO APAIN ADEK GUE SIALAN!"
"Jangan teriak, dia lagi tidur. Dia bisa bangun nanti, tenang. Dia baik baik aja."
"Lo janji gak akan nyakitin adek gue, apa yang lo lakuin hah!"
"Oh ya? Gue pernah janji gitu? Gue lupa."
"Lepasin adek gue!" Tegas Kai dengan gigi yang gemeletuk keras. Kepalanya penuh dengan spekulasi buruk, tentang hal apa yang akan adiknya alami. Atau mungkin sesuatu yang sudah pernah dia alami saat tidak ada Kai.
"Setelah lo lakuin apa perintah gue. Baru gue lepasin adek lo." Kalau saja orang itu ada di depan Kai, ia pasti sudah tidak lagi bisa menahan diri untuk memukul keras wajahnya yang sangat angkuh itu hingga hancur. Tidak peduli dengan hidupnya yang mungkin akan hancur juga. Intinya Kai benci sekali orang itu.
"Apa mau lo?!" Tidak mau membuang waktu untuk semua omong kosong, apalagi bicara banyak dengan orang seperti itu. Kai ingin segera menyelesaikan pekerjaan kotor ini.
"Bawa gadis itu."
Gadis? Gadis yang mana? Apa maksudnya Ara? "Iya, cewek Daniel. Bawa dia dan gue bakal lepasin adek lo. Dengan selamat."
Apa sekarang Kai harus memilih antara Bian dan Ara? Tapi bagaimana bisa?
"Ingat jangan mengacau, nyawa adek lo di tangan gue. Bawa dia secepatnya, maka adek lo bakal balik lebih cepat."
Lalu panggilan itu di putus begitu saja, dan Kai langsung jatuh terduduk di tempatnya dengan rasa sesak tak tertahan. Bian, Kai harus lakukan apapun agar Bian baik baik saja. Tapi... tapi apa ia bisa melakukan apapun itu termasuk menyakiti Ara? Apa Kai bisa? Pertukaran nyawa ini, apa Kai sanggup melakukannya?
Kai hampir melempar ponsel di genggamannya ke arah tv yang ternyata sudah tidak menyala lagi. Tapi sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Benar, ponsel. Kai mengusap kasar air mata di pipi nya yang terluka, tidak perduli dengan rasa perih karena luka yang hampir kering itu kembali berdarah. Ia tidak peduli, semua rasa sakit ini tidak terasa karena gundah dihatinya.
Dengan langkah tergesa, Kai bergerak pergi ke kamar Bian dan memeriksa dengan cepat seluruh laci di kamar adiknya itu. Mencari sebuah benda kecil yang harusnya ada di sana. Benda buatannya yang digunakan untuk melacak keberadaan sang adik. Dan benar, di laci meja belajar Bian hanya ada satu benda kecil itu, yang artinya Bian membawa satu lagi karena Kai membuat benda itu hanya berjumlah dua. Dan Kai selalu mengingatkan pada Bian agar selalu membawa benda ini kemanapun dia pergi.
Untuk itu rasa tenang setidaknya sedikit menghinggapi Kai. Lelaki jangkung itu langsung membuat program baru di ponsel yang di berikan orang itu, guna melacak dimana keberadaan Bian. Setelah selesai, ia mengantongi benda kecil lainnya yang ada di laci, lalu bergegas pergi untuk menjalankan rencananya. Menyelamatkan Bian.
*****
Ketiga pemuda sedang berada di sebuah ruangan dengan wajah yang sama lesunya. Daniel berbaring di kasur kesayangan nya dengan sebelah tangan menutup kedua matanya, Farrel yang duduk di karpet bulu di dekat ranjang dan Terra yang duduk di kursi kerja milik Daniel.
Ketiganya sedang berfikir sekaligus beristirahat karena beberapa hari terakhir mereka bekerja keras untuk bisa menemukan James Park yang seakan bukan manusia tapi hantu karena susah sekali di temukan.
Helaan nafas rasanya menjadi suara paling sering terdengar di ruangan itu selama dua jam penuh. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk memejamkan mata dan mungkin bermimpi. Tubuh mereka lelah, pikiran mereka kacau tapi tidak ada niatan sama sekali untuk sesaat saja tertidur. Perasaan tidak tenang menahan mereka untuk tetap terjaga.
"Menurut kalian aneh gak sih?" Ujar Terra memecah keheningan yang ada. Lelaki muda itu menatap serius ke arah dua lelaki lainnya yang tampak lelah di depannya.
"Apanya yang aneh? Isi otak lo?" Tanya balik Farrel berujar kesal. Sejujurnya ia lelah dengan keadaan seperti ini, dan tiba-tiba di pertanyaan yang mendadak dan tidak jelas seperti itu.
"Mulut lo yang aneh, ngatain orang mulu." Sambar Terra sambil melempar tatapan sebal pada Farrel yang duduk di karpet bulu. Aish Terra agaknya masih kurang menyukai sikap Farrel yang suka sekali berburuk sangka.
"Apa yang aneh Terr?" Ujar Daniel menengahi. Jujur saja saat mendengar namanya di potong Terra hampir berteriak protes pada Daniel, tapi menyadari lelaki itu sedang tidak pada mood yang baik jadi ia memilih meredakan kekesalan itu.
"James Park, aneh gak sih kalo dia gak pernah ada di semua lokasi yang kita dapet. Dan kejadiannya SELALU gak ada, padahal informasi yang kita dapet jelas banget kalo James ada di sana." Mendengar kalimat panjang Terra, Daniel lantas bangkit dari posisinya yang merebah menjadi duduk.
"Maksud lo?" Tanya Daniel meminta penjelasan.
"Iya, James kayak main main soal semua informasi yang kita dapet dan emang gak niat buat di temuin sama lo. Seakan akan dia pengen bikin lo capek dan emosi terus akhirnya nyerah buat nyari dia."
Farrel dan Daniel langsung mengerutkan dahi saat memikirkan pendapat Terra yang terkesan ada benarnya juga. "Kalo kejadian sekali dua kali oke lah gue maklum. Tapi masa selalu, catat ya selalu di semua tempat yang kita tuju tuh gak ada jejak James di sana sama sekali." Terra berakhir menghela nafas merasa kalau pikirannya sendiri yang sedikit menguras emosi. "James kaya ngalihin perhatian dan bikin kita sibuk sedangkan dia lagi ngerjain hal lain. Iya gak sih?"
"Ulang kalimat lo!" Perintah Farrel.
"Yang mana?" Tanya Terra bingung dan sedikit kaget dengan ujaran sarkas dari Farrel.
"Yang pengalihan." Jawabnya.
"James kaya ngalihin perhatian kita pas dia ngerencanain sesuatu?" Mata Terra membulat seakan bertanya pada Farrel apa kalimat ini yang dia maksud.
"Pengalihan." Ulang Farrel tiba tiba. Ia lantas menoleh ke arah Daniel yang tampak bingung. Tapi saat ia beradu tatap dengan Farrel ia langsung mengerti apa yang dimaksudkan oleh lelaki itu.
Matanya langsung membesar dan rasa khawatir itu muncul. Pengalihan.
Jika itu benar, hanya ada satu hal yang terpikirkan dalam benak Daniel saat ini.
"Ara!" Seru Daniel sebelum akhirnya ia berlari pontang panting keluar kamar, ia harus pergi memastikan sendiri bahwa apa yang ia pikirkan tidak benar dan gadisnya baik baik saja.
tbc....
Lanjut besok ya,,
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIEL
FanfictionBerniat keluar rumah untuk membeli mi instan di minimarket, Ara malah menemukan seorang lelaki terbaring di halaman rumahnya dengan wajah babak belur dan bajunya yang penuh darah. Meski awalnya ragu untuk menolong tapi Ara akhirnya membawa lelaki ya...