34. Perasaan Tersirat

515 28 0
                                    

HAPPY READING

•••🖤•••

Selang beberapa menit, Raga masuk ke dalam kamar. Kondisinya masih gelap, tidak ada penerangan kecuali lilin itu. Posisi Fay masih sama, berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya tampak tidak tenang. Raga mendekat, mengerutkan keningnya heran.

"Kenapa gitu wajahnya?" tanya nya, sembari membuka kancing bajunya.

"Lo mau tidur sekarang? Ini masih jam tujuh loh," ucap Fay melihat Raga membuka bajunya, seperti kebiasaannya tidur telanjang dada.

Raga menggeleng, "mandi, gue belum mandi."

Fay mengangguk-angguk saja, lalu mengubah posisinya menjadi duduk menyender ke sandaran kasur. Raga masih melihat jelas kain merah itu masih ada di tubuh Fay.

"Katanya ganti?" Fay langsung menunduk, menatap pakaiannya. Lalu nyengir menatap Raga, membuat respon Raga hanya geleng-geleng saja.

"Gue mandi dulu," pamit Raga berjalan menuju kamar mandi.

Fay tiba-tiba turun dari kasur, lalu memanggil nama Raga. "Raga ih!"

"Yaallah, apa lagi?" geram Raga berbalik badan, dirinya sudah lelah dan gerah. Ingin segera menyegarkan badan.

Fay menghela napas, lalu menunduk pasrah. Raga ikut menghela napas melihat Fay seperti itu, sedikit membungkukkan badan. Menatap wajah Fay yang tertunduk, Raga terkekeh kecil entah apa yang lucu baginya.

"Lo mau ngomong apa sih, ha?" ucapnya dengan sedikit santai, Fay mulai mendongak dengan perlahan.

Menemukan keberaniannya untuk memulai berbicara. "Gue nggak tahu ada Arnav."

Raga berdiri tegak kembali, tahu topik apa yang dibahas, ia mengangguk-angguk saja. Melipat kedua tangannya, menatap Fay seakan menanti kelanjutan ucapan gadis itu. Fay berdecak, ia merasa tidak enak.

"Notebook gue ilang, lo liat kan gue foto di mana? Di depan loker, di sana notebook gue juga nggak ada."

"Ternyata di Arnav?"

Fay mengangguki tebakan Raga yang benar. "Dia cuma kasih notebook gue doang kok. Terus kita pergi."

"Kenapa jelasin ke gue?" tanya Raga menyebalkan.

"Biar lo nggak salah paham, gue kan nggak izin ketemu Arnav."

Raga manggut-manggut lagi, menyenderkan punggungnya ke meja rias Fay. Menatap lurus Fay, "terus?"

Fay memutar bola matanya malas, perasaan kesalnya mulai meluap. Tersenyum paksa, "terus biar lo nggak cemburu."

Fay tersenyum puas, memancing Raga dalam jebakannya. Tapi cowok di depannya ini terlihat tetap tenang.

"Apa pentingnya cemburu?"

Fay mengeratkan genggaman tangannya, pertanyaan-pertanyaan Raga benar-benar menguji sabarnya. Decakan kesal terus keluar dari mulutnya, ia gagal menahan kesalnya lagi. Raga selalu menyebalkan untuknya.

"Lo sendiri yang bilang tadi ya, Raga!"

"Apa? Bilang apa?" goda Raga dengan nada menyebalkan.

"Bilang, kalau ada yang cemburu itu harusnya lo."

Raga manggut-manggut pelan, lalu tersenyum kecil. "Ngarep gue cemburu ya?"

Fay semakin menggeram dengan kesal, tangannya sudah siap memukul Raga, tapi lagi-lagi ia tahan. Menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan banyak kesabaran.

Fay diam sejenak, "kalau dipikir-pikir, ngapain lo cemburu ya? Lo kan nggak suka gue."

"Kalimat itu gue balikin juga ke lo."

Tuan Muda: RagatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang