69. Seutas Surat Coklat

378 23 0
                                    

WELCOME!! IM BACKKK😮

•••🖤•••

Langit sore tergambar begitu indah dengan senja nya, warna orange yang cantik. Membuat semua mata memandang dengan terpukau. Cuaca yang sejuk sedikit berangin, membuat siapa saja merasa betah menikmati waktu sore ini. Ditambah kicauan burung yang bertengger di pepohonan. Di bawa langit ini, seorang gadis berjalan cepat memasuki pekarangan rumah nya. Ia bergegas masuk setelah menyelesaikan urusannya di luar.

Setelah tanpa sengaja bertemu Raga,  langkah Fay tidak bisa santai, ia terburu-buru masuk ke dalam rumah. Ingin tahu surat apa yang Raga kirim kan untuknya. Jujur saja, bukan hanya rasa penasaran yang melanda nya. Kini jantung nya juga berdegup kencang, ia benar-benar panik dan sudah berpikir negatif. Ia sungguh takut.

"Bi, ada surat nggak?" tanya nya mengejutkan Bi Ica.

Bi Ica pun menoleh sembari mengusap dada nya. Lalu menepuk pelan pundak Fay, melihat raut panik gadis itu. "Nona, tenang dulu. Ada apa?"

Fay menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan nya perlahan. "Raga ada kirim surat untuk aku nggak, Bi?"

"Surat? Surat apa, Non?"

"Aku juga nggak tahu, Bi. Tapi tadi--"

"Permisi, Nona."

Mulut Fay kembali diam saat seseorang memotong ucapannya, ia menoleh ke belakang. Melihat satpam nya datang menghampiri. Fay melirik seutas amplop berwarna coklat yang ada di tangan satpam itu.

"Itu surat dari Raga ya, Pak?"

Satpam itu menyalurkan amplop tersebut. "Kurang tahu, Nona. Tadi tukang pos hanya memberikan ini saja untuk Nona Fay."

Mengangguk sekenanya, Fay mengambil alih amplop itu. Memandangi lekat-lekat, jantung nya berdegup lebih kencang, napas nya terasa tercekat kala mata nya menangkap rangkaian kalimat yang tertera di amplop coklat itu.

"Pengadilan agama Jakarta?" lirih nya parau, membaca kalimat bercetak tebal di amplop tersebut.

Fay menelan ludah nya sejenak, berbalik badan, dengan jalan pelan menuju kamar nya. Bi Ica menatap Fay dengan prihatin, tapi ia hanya bisa diam. Sedangkan langkah gontai Fay menaiki anak tangga satu persatu. Sembari terus menatap amplop coklat itu. Rasa takut dalam hatinya semakin membuncah, tangannya bergetar saat hendak membuat amplop itu. Ia tahu di dalamnya ada surat, yang membuat hatinya benar-benar tidak siap untuk membaca nya.

Setelah mengumpulkan banyak keberanian, ia pun membaca rangkaian kalimat di dalam surat itu. Raut terkejut nya tidak bisa bohong. Seketika itu juga seakan napasnya tercekat, jantungnya terasa tertusuk sesuatu dan air matanya tanpa permisi meluncur begitu saja. Fay tidak bisa menahan semua rasa itu, tubuhnya langsung lemas.

"Gugatan cerai?" ujarnya parau.

Kepalanya menggeleng lirih, "bohong ... Raga, nggak boleh jahat begini!"

Fay terus menolak dengan gelengan keras, segera memasuki kamar nya dan menutup rapat pintu nya. Fay meremas surat itu lalu membuangnya ke tempat sampah, seperti surat yang Raga buang dulu.

"Sekarang gue tahu tempat buang sampah, Raga. Surat itu pantas dibuang di sana!" pekiknya.

Fay mundur selangkah, air matanya semakin deras menghujani pipi nya. Ia sesegukan, meluapkan semua rasa sakitnya. Hatinya dengan seketika terasa tertikam, tapi tak ada darah yang keluar. Bahkan sekarang untuk sekedar bernapas, untuk Fay terasa menyakitkan.

Tubuhnya benar-benar kehabisan energi, bahkan untuk berdiri. Ia terduduk rapuh di samping ranjangnya, memeluk kedua lututnya. Sembari menenggelamkan kepalanya. Ia masih menangis sesenggukan, meluapkan segala rasa sakitnya.

•••🖤•••

Tubuh Raga semakin hari semakin menyusut, makan tidak teratur, malas berolahraga, ditambah banyak nya masalah yang berdatangan. Semua hal itu benar-benar menyerang Raga tanpa ampun. Cowok itu benar-benar seperti tak terurus. Bahkan sekarang, memborong banyak kue putu pun hanya ia makan sedikit.

Katanya, "nggak selera makan."

Setelah menghabiskan beberapa kue putu, Raga meneguk sebotol air mineral. Ia menghela napas sejenak, diam di tempat duduknya dengan pandangan mata kosong. Ia hanya berkumur-kumur sejenak dengan air minumnya, lalu meneguknya. Berulang lagi, sampai ia berdecak kesal dari lamunannya.

Kaki nya berdiri tegap, dengan langkah yang tak pasti ia segera menaiki motornya. Mesinnya mulai hidup, membawa laju motor itu ke tempat tujuan yang ada di pikiran Raga. Pikiran Raga kacau, tak karuan. Tapi menyelinap sebuah tempat yang ia rasa, ia harus datangin.

•••

Tepat beberapa menit setelah perjalanan nya, Raga menghentikan mesin motornya tepat di depan bangunan yang cukup bagus. Rumah yang jarang ia kunjungin, tempat dimana ia membawa tanggung jawab besar atas anak gadis pemilik rumah tersebut. Ya, rumah orang tua Fay.

Langkah kaki Raga terasa berat, berjalan mendekati rumah itu. Hatinya terasa tak enak, ia ragu. Namun, ia tetap melangkah hingga tangannya memencet bel rumah tersebut. Menarik napas sejenak, sampai pintu itu terbuka dan tepat sekali. Sosok lelaki paruh baya muncul di balik pintu itu.

Raga menelan ludah sejenak, tersenyum getir membalas senyum sang Papa mertua. Berkata lirih, "papa ..."

•••🖤•••
MAAAF BNGGTT AKU LAMA UPDATE, PLEASE SETIA SAMPAI ENDING YAA😓😓🙏🏻😭

Tuan Muda: RagatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang