26. Menyembunyikan Tangis

708 28 10
                                    

SELAMAT MEMBACA^^

•••🖤•••

Menghabiskan malam yang sunyi dan gelap, ditambah keadaan kamar yang gelap, cahaya sang rembulan tak mampu menembus masuk ke dalam kamar. Hanya remang-remang lampu tidur yang menyala, memancarkan sinar kuning emas. Suasa malam yang tenang dalam kegelapan, di baliknya ada seseorang yang meringkuk. Memeluk lututnya yang tertekuk, dan menaruh dagunya di atas lutut.

Fay termenung di pojok kamar dalam gelap, sengaja mencari waktu-waktu seperti ini, di mana Raga sudah terlelap tidur di tengah mal. Gelapnya malam membuat tangisnya tak terlihat, dan tangisnya menjadi sunyi. Mencoba menahan dan melawan rasa rindunya, rindu pada seseorang yang sudah ia lepaskan.

"Ar," lirihnya pelan. Bagaimanapun juga, Fay mengakui berat untuk menjalaninya. Hatinya masih digenggam oleh Arnav, tapi semakin sakit bila rindunya menghampiri.

"Kenapa gue harus rindu lo, Ar?" gumamnya dengan pelukan yang semakin erat, memeluk kakinya. Sebisa mungkin masih menjadikan ruangan ini sunyi, menyembunyikan tangisnya dalam sunyi.

Seperti Fay juga menyembunyikan rasa rindunya, menjaga perasaan Raga yang sekarang sudah menjadi suaminya. Berusaha keras menyingkirkan Arnav dan fokus pada Raga. Memoles warna baru di kertas kosong yang ia bangun bersama Raga.

"Gue sayang lo, Ar. Tapi gue nggak mau stay sama lo," lanjutnya dengan lirih. Lalu menggeleng sekali  "Bukan, bukan nggak mau. Tapi nggak bisa, Ar."

Dada Fay semakin sesak, ingin mengeluarkan tangisnya semakin deras. Menggigit bibirnya, berusaha kuat menahan isaknya. Menyadarkan dirinya sendiri, bahwa tetap ada sekat diantar ia dan Arnav. Sadar, bahwa terlalu sulit untuk bersama Arnav. Lelah dan menyakitkan.

"Gue lemah, Ar. Makanya gue nyerah berjuang."

Katanya lagi entah pada siapa. Masih dengan air mata yang dibiarkan mengalir. Dinginnya malam di tambah dinding yang ia senderi seakan tidak ia hiraukan, masih diam menikmati tangisnya.

Remang-remang lampu mulai bersinar lebih terang, ruangan gelap itu perlahan dipenuhi cahaya. Mata Fay mengerjap, menyadari seseorang telah menyalakan lampunya. Pandangannya terarah pada Raga, yang berdiri tak jauh dari saklar lampu.

Raga memfokuskan pandangannya pada Fay yang masih di pojok kamar. "Gue nggak izinin lampu kamar dimatiin lagi."

"Kenapa?" lirih Fay bertanya dengan suara serak karna tangisnya.

Raga menghela napas, jalannya mendekati Fay. Mengangkat pundak gadis itu agar berdiri, menatapnya dengan teliti.

"Gue nggak mau keadaan gelap cuma jadi tempat persembunyian tangis lo," ungkap Raga menghapus sisa air mata Fay dengan lengan bajunya. Tidak selembut itu, namun juga tidak kasar.

Kepala Fay mulai menunduk, malu Raga mengetahui ia menangis seperti itu.

"Kalau lo matiin lampu cuma buat persembunyian overthinking lo yang berujung nangis. Gue nggak suka, jangan sedih di belakang gue."

Terdengar dari nada suaranya yang berat, Raga sedang serius. Wajahnya tidak ada senyum atau bahkan raut bercanda. Sejenak diam dan memperhatikan Fay, lalu terdengar helaan napas pelan.

"Ayo bobok," tuturnya sembari menarik ujung baju tidur Fay, menariknya menuju ranjang lagi, seperti menarik kucing saja. Raga langsung naik ke ranjang lagi, diikuti oleh Fay yang langsung menyelimuti dirinya. Tidak dengan Raga yang memilih membuka ponselnya dahulu.

Fay meliriknya, "malah main hp."

"Ngechek doang."

"Ngechek apa?"

Tuan Muda: RagatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang