Hawa dingin menembus kulit, seorang lelaki berambut messy terlihat sedang duduk di teras rumahnya dengan wajah kusut. Mendongak guna menyaksikan candra yang berkuasa atas langit, ia berharap keresahannya segera musnah. Namun, ternyata keindahan satelit Bumi itu pun belum cukup untuk menjawab teka-teki dalam hatinya.
Beralih menunduk, Ian mengembuskan napas berat. Mengusap wajahnya kasar, lelaki itu tampak frustrasi. Tanda tanya di benaknya pertama kali muncul pada saat 'menembak' Teresa beberapa hari lalu. Semestinya, Ian membalas pernyataan cinta sang gadis dengan kalimat 'I love you too', kan? Namun, mengapa rasanya sulit sekali untuk sekadar mengucapkannya?
Melirik ke arah novel berwarna biru muda di sampingnya, Ian tergerak untuk menggenggam buku yang baru sempat ia baca sebanyak tiga halaman tersebut. Pikirannya menerawang jauh, Ian tiba-tiba teringat perihal dirinya dan Tania yang sepakat untuk membeli novel bersama.
"Kalau yang ini ... gimana?" saran Tania, menunjuk novel yang menarik perhatiannya.
"Boleh, gue percaya aja sama pilihan lo. Sekarang, ayo, kita lomba, siapa yang selesai baca duluan," tantang Ian.
"Siapa takut?!" balas Tania antusias.
Kedua sudut bibir Ian sedikit terangkat ketika membayangkannya, raut semringah gadis itu memang mengundang candu. Akan tetapi, setelah lamunannya berakhir, bibir Ian kembali membentuk garis datar. Tak kunjung menemukan sesuatu yang berarti, Ian refleks meremas rambutnya seraya berteriak.
"Loh, Nak Ian belum tidur?" tanya seorang wanita paruh baya—dengan setitik landang di pipinya—yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah Ian.
Menyadari ada suara lain yang menginterupsi kegiatannya, Ian refleks bergeser. "Eh ..., Bi Ajeng," sapanya, "duduk, Bi."
"Ya, ampun, Nak, bikin kaget saja." Bi Ajeng mulai membuka suara setelah mendudukkan dirinya di samping sang majikan. "Bibi kira maling tadi."
Tersenyum kikuk, Ian merasa sedikit bersalah karena teriakannya sukses menganggu kenyamanan Bi Ajeng. "Bukan, kok, Bi, tenang aja, nggak ada maling di sini."
Sunyi sempat mengambil alih peran, Bi Ajeng tak kuasa menahan rasa penasarannya tatkala mendapati sang tuan muda berada di luar rumah sendirian. "Nak Ian, belum tidur?" Bi Ajeng mengulangi pertanyaan awal.
"Belum bisa, Bi," balas Ian seadanya.
"Oh, iya, Bi ..., apa Ian boleh nanya sesuatu?" lanjutnya bertanya. Sebagai asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk keluarganya, hubungan Bi Ajeng dan Ian terbilang cukup dekat. Jadi, tidak ada salahnya meminta pendapat pada orang yang ia percaya, kan?
"Boleh, kok," Bi Ajeng mengizinkan, "mau nanya apa, Nak?"
"Kalau cowok nembak cewek yang disukainya dan ternyata berhasil ..., kenapa dia merasa nggak seneng sama sekali?" Ian masih setia memandang lurus ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...