Cuaca mendung seolah-olah menggambarkan suasana hati Ian saat ini. Tampak lesu, lelaki itu tetap bersikeras mengikuti latihan basket bersama anak-anak FF. Tembakan pertama terjadi, sayang sekali bola yang dilempar Ian gagal mencetak poin. Tak masalah, ia masih berusaha mencuri bola dari lawan guna memperoleh kesempatan lainnya.
Namun, nahas, faktanya, setiap Ian melakukan shooting, tembakannya selalu meleset, bahkan bolanya beberapa kali sempat keluar jauh dari lapangan akibat tenaga Ian yang terlalu besar. Bayangkan saja, sang lelaki yang biasanya mengutamakan akurasi, kini lebih berfokus menjadikan basket sebagai ajang adu kekuatan. Tak heran, banyak anggota mengomentari gaya permainannya yang tak seperti biasa.
"Buset, kapten kita kesurupan apa, nih, hari ini? Lemparannya kenceng banget. Untung, nggak kena orang."
"Kayaknya beban hidup lo lagi banyak banget, ya, Ian?"
Tak ada sedikit pun tarikan manis di bibirnya, Ian malah dibuat makin kesal dengan candaan tersebut. Padahal, biasanya lelaki itu akan menimpali dengan semacam lelucon. Ah, ia tak mampu berkonsentrasi sekarang. Ya, memang salahnya sendiri untuk berlatih pada saat kondisi tubuh kurang fit. Akan tetapi, bolehkan Ian berharap bahwa pikirannya bisa teralihkan ketika berada di lapangan?
Beralih memantulkan bola dengan kencang, akhirnya Ian memutuskan untuk beristirahat saja karena sedari tadi tembakannya pun selalu mengecewakan. Baiklah, ia tak ingin dibuat lebih geram lagi dari ini. Memanggil salah satu rekannya untuk menggantikan, lelaki itu lekas menepi dari lapangan. Tak ayal, sikap sang kapten tersebut mengundang kekhawatiran di benak para anggota.
"Eh, woi, itu si Ian marah, nggak, sih?"
"Ya, mana gue tau! Hayo, kalian semua buat salah apa? Liat, tuh, kapten kita jadi nggak mau main."
Menulikan indra pendengaran, Ian memilih beranjak ke tempat ia menyimpan tas berisi perlengkapan basket, seperti air mineral dan handuk kecil. Namun, bukannya membasahi tenggorokan dengan cairan, barang pertama yang diambil Ian setelah keluar dari lapangan adalah ponsel. Dibukanya aplikasi bertukar pesan favorit guna memeriksa adanya notifikasi masuk dari orang yang pandai menyisipkan gundah dalam benak. Masih nggak ada kabar, batinnya kecewa.
Tak ayal, Bima yang sukses mengintip layar Ian dari belakang pun terpancing untuk mengusik. "Oh, sekarang mainnya bales-balesan, ya? Mentang-mentang lo dicuekin Tania, sekarang lo jadi cuekin Clara juga." Mendapati notifikasi beruntun dan pesan menumpuk dari Clara yang tak kunjung dibaca, Bima tersenyum misterius. Terlebih, lelaki jangkung itu malah 'menangkap basah' Ian yang bolak-balik memeriksa lapak chat-nya dengan Tania.
Terlonjak kaget, Ian buru-buru meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas, beralih meneguk air mineral yang dibawanya. Berdeham, lelaki itu itu sengaja berdalih. "Nggak jelas lo, Bim. Kalau ngomong, tuh, yang nyambung dikit."
Mengabaikan sanggahan Ian, Bima kembali memancing. "Gue liat-liat dari tadi bolanya nggak ada yang masuk, nih." Bukan tanpa sebab, masalahnya Ian adalah pemain paling konsisten di antara yang lainnya. Jarang sekali ia menyajikan permainan yang buruk, apalagi masalah fokus dan ketepatan. Maka dari itu, performanya terbilang selalu menakjubkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...