Tiga tahun telah berlalu semenjak Ian dan Tania berpacaran, serta mengenal lebih dalam tentang sifat masing-masing. Terkadang, perdebatan kecil memang tak dapat dihindari. Namun, mereka selalu punya cara untuk menyelesaikannya bersama hingga berakhir dengan senyuman.
Tak hanya itu, menjalin hubungan dengan Ian, lambat laun juga membuat Tania mengetahui satu hal penting, yaitu sang kekasih yang sering ditekan oleh ayahnya. Ya, seperti sekarang, Ian dipaksa mengerjakan proyek bisnis. Padahal, lelaki itu sedang sibuk-sibuknya membuat skripsi.
Bisakah sekali saja sang ayah tak berekspektasi tinggi padanya? Setiap kali Ian menolak, maka ayahnya akan selalu menjawab dengan kalimat 'sebentar lagi juga kamu lulus, Ian'. Ah, sang ayah memang terlalu menganggap remeh, kan? Lulus tepat waktu dengan nilai terbaik adalah kewajiban mutlak, sementara lulus terlambat dengan nilai yang hanya sekadar baik adalah aib.
Sejak kecil, Ian sudah dididik untuk hidup berdampingan dengan bisnis. Baiklah, jujur saja Ian memang suka berbisnis. Akan tetapi, jika langsung diberikan proyek penting seperti ini, bukankah ia akan kewalahan juga? Sang ayah selalu menuntutnya untuk menguasai hal yang belum pernah ia pelajari. Ayo, lah, skripsi saja sukses membuat kepalanya pusing setengah mati. Dan, sekarang? Sang ayah malah menambah beban hidupnya.
Ingin sekali Ian menyuarakan haknya dengan berkata bahwa kemampuan setiap orang itu berbeda. Namun, percuma saja! Ayahnya terlalu keras kepala. Dan, mungkin saja keras kepala sang ayah itu menurun padanya. Terbukti, Ian masih saja memaksakan diri untuk mengerjakan proyek bisnis terlebih dahulu meskipun lelaki itu sudah beberapa kali memijat pangkal hidung dan menghela napas lelah secara bergantian.
Saat ini, Ian berada di kontrakan Tania karena ia merindukan kekasihnya itu. Jika Ian mengerjakan semuanya di rumah, maka ia tidak akan punya kesempatan untuk melihat Tania, kan? Menyebalkan sekali, belakangan ini mereka jarang bertemu.
"Ian, kamu nggak makan?" tanya Tania. Tak tega melihat sang kekasih yang tampak kelelahan, Tania berniat menawarkan makan.
Kini, Tania sudah mengerti perihal mengapa Ian mesti belajar lebih setiap kali ada UTS maupun UAS. Menurut cerita, Ian sudah biasa diperlakukan seperti itu. Bagaimana tidak, pada masa sekolah pun lelaki itu dituntut untuk sempurna. Misal, setiap ada ulangan, angka 8 ataupun 9 sudah tergolong buruk. Dan, kalaupun Ian berhasil meraih skor 100, sang ayah tak pernah memujinya karena bagi pria itu Ian memang sudah seharusnya berhasil mencapai hasil maksimal.
"Nanti aja, Tan," tolak Ian, masih fokus menatap laptopnya.
"Makan sedikit dulu, ya? Dari tadi kamu belum makan. Nanti kamu sakit, Ian," bujuk Tania lagi, merasa cemas.
"Aku bilang nanti aja, Tan! Aku pusing! Aku capek, bahkan aku nggak tau kapan ini semua bakal selesai!" bentak Ian.
Hening sejenak, Ian mulai merenungi kesalahannya. Sadar bahwa dirinya telah melampiaskan emosi pada orang yang salah, Ian refleks memejamkan mata, lantas menghela nafas. "Maaf." Kembali membuka matanya, Ian berniat menjelaskan. "Maaf, Tan, aku sama sekali nggak bermaksud ngebentak kamu. Kepala aku pusing banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...