"By the way, ini gue nggak ganggu lo, kan? Kalau lo mau beresin kerjaan lo, nggak papa beresin dulu aja," ucap Ian.
Tania tersenyum kecil, lantas menggeleng. "Nggak, kok, kalau tinggal packing masih bisa dikerjain nanti malem soalnya memang nggak mepet-mepet banget."
Tiba-tiba teringat sesuatu, Tania refleks bergumam. "Oh, iya, gue lupa, ya, ampun."
Melirik Ian yang tengah menatapnya heran, Tania lekas angkat bicara. "Lo mau minum apa, Ian? Aduh, di sini snack-nya juga nggak banyak lagi. Bentar, ya, gue ambil dulu."
"Eh, nggak usah, Tan, nggak usah repot-repot," cegah Ian. Tak ayal, niat Tania untuk bangkit berdiri harus tertunda.
"Ya, nggak bisa kayak gitu, dong. Di mana-mana juga tamu itu adalah raja. Jadi, sekarang gue maksa, nih," tuntut Tania sekaligus melayangkan protes.
Ian terkekeh, mengamati ekspresi Tania yang sok garang. Jauh dari kata 'menyeramkan', raut tersebut malah tampak menggemaskan di matanya. Kalau boleh menilai, sepertinya Tania sungguh tak punya bakat untuk menakut-nakuti orang lain.
Berniat untuk menanggapi, Ian membenahi posisi duduk agar sepenuhnya menghadap Tania, lalu memandangnya sedikit lebih lama. Kalau gue raja ..., berarti lo ratunya, ucap Ian dalam hati.
"Ya, udah, gue mau air putih aja," balas Ian, masih dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.
"Oke," Tania mengacungkan jempol, "tunggu sebentar, ya." Gadis itu bergegas pergi ke dapur, meninggalkan Ian yang masih memandang punggungnya dengan tatapan hangat.
Sembari menunggu Tania, Ian spontan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Entah mengapa, rasa lelah kembali menerjangnya. Padahal, saat berbincang dengan Tania beberapa saat lalu, raganya seolah-olah tak merasakan apa pun. Entahlah, sebenarnya setan apa yang sedang merasukinya?
Masih berada dalam posisi tengadah, Ian tak sengaja mendapati hiasan planet yang menggantung di langit-langit. Apakah Tania yang membuat tata surya mini tersebut? Mengapa ia baru menyadarinya? Bola styrofoam yang dibalur cat akrilik dengan tali hitam yang menahannya itu ternyata juga dilengkapi oleh secarik kertas kecil yang memuat tulisan artistik.
Ian membacanya dalam hati, sesekali tertawa pelan karena ada beberapa kalimat yang menggelitik perutnya. Baiklah, goresan pena yang awalnya ia pikir sebagai motivasi nyatanya sedikit melenceng. Bagaimana tidak, beberapa di antaranya berisi ancaman terselubung yang sebenarnya berfungsi sebagai pendorong maupun pengingat.
"Kerja, woi!"
"Bangunlah wahai pemalas, hidupmu ada di ambang kehancuran."
"Belajar nulis cepet, yuk, biar nggak dikira siput."
"Jangan males bikin konten kalau masih mau makan."
"Apa fungsi otak kalau sehari-hari kamu mikir pake dengkul?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...