Seperti biasa, Ruang Nyamuk selalu menjadi tempat tongkrongan terbaik menurut lan dan kawan-kawan. Di area pojok, sang pangeran kampus tampak sedang melamun, sama sekali tak berniat memesan makanan maupun minuman. Namun, sepertinya kesendirian Ian itu tidak akan berlangsung lama, mengingat ada derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
Kursi di seberangnya berderit, pertanda bahwa seseorang telah menariknya. Diamatinya sang sahabat yang baru mendaratkan bokongnya dengan napas terengah-engah. Beralih melirik kalkulator ilmiah berwarna hitam yang diletakkan lelaki itu di atas meja, Ian pun spontan bertanya.
"Lo kenapa, Bim?" tanyanya lemas. Jangan heran, Ian memang belum mengisi perutnya sejak semalam.
"Terus, itu kalkulator buat apaan?" tambahnya.
Mengatur napasnya terlebih dahulu, Bima baru bisa menjawab. "Huh, astagadragon, ini gila, sih. Panas-panas gini, gue udah disuruh lari, memang nggak ngotak!"
"Lo tau, nggak? Dosen RO ngadain kuis dadakan di kelas pagi tadi. Ya, gimana gue nggak panik?" lanjut Bima menggerutu.
Ya, Riset Operasi (RO), salah satu mata kuliah hitungan yang erat kaitannya dengan Matematika. Sebenarnya, dosen yang mengampu mata kuliah tersebut sudah mewanti-wanti para mahasiswanya untuk membawa kalkulator ilmiah. Namun, memang dasar Bima yang terlalu menganggap enteng, lelaki itu baru menyadari pentingnya alat hitung elektronik setelah mendengar kata 'kuis'.
"Lo bayangin aja, habis nganterin Sofi, nih ..., gue langsung lari dari gedung FSRD ke gedung FEB buat minjem kalkulator. Udah dari ujung ke ujung, tuh, gue liat-liat! Untung aja masih ada 15 menit lagi, jadi gue bisa pesen minum dulu di sini," Bima menjelaskan dengan suara menggebu-gebu.
Gawat, sepertinya Ian juga membutuhkan kalkulator ilmiah itu, mengingat hari ini ada mata kuliah Riset Operasi pula di jam sore. "Nanti gue pinjem."
Sontak saja, Bima refleks melotot. "Astagadragon, lo nggak bawa juga?"
Melihat Ian yang terdiam, Bima seolah-olah terpancing untuk mengejeknya. "Huuu, dasar orang kaya tapi nggak modal!"
Ian—dengan susah payah—menajamkan pandangannya ke arah Bima. "Daripada yang kaya monyet," ujarnya santai.
"Sompret, apa lo bilang tadi?! Ngaca dulu, woi!" balas Bima. Ya, beginilah jadinya kalau orang yang terlalu meremehkan dan orang yang pelupa memperdebatkan kesalahan mereka yang sebenarnya sebelas-dua belas.
"Eh, tapi tunggu dulu, deh!" Bima menelusuri wajah Ian yang tampak lesu hingga fokusnya terpusat pada kantung mata hitam sahabatnya itu.
Belum sampai lima detik, Bima tak kuasa menahan tawanya. "Ha-ha-ha, itu mata lo kenapa, Ian? Katanya, lo itu selalu mementingkan penampilan, tapi kenapa sekarang muka lo jadi kayak panda kelaperan gitu, sih?"
Ian menatap Bima dengan kekesalan yang tiada tara, sahabatnya itu tidak tahu saja bahwa ia hanya punya waktu sebanyak dua jam untuk memejamkan mata. Gara-gara 'hal itu', Ian tak kunjung terlelap. Dan, mungkin, lelaki itu malah tak akan mengistirahatkan tubuhnya jika ia tak mendapatkan jawabannya kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...