"Pembelajaran hari ini dicukupkan sekian, saya ucapkan terima kasih."
Hiruk pikuk suara mahasiswa Manajemen mulai terdengar kala sang dosen menyatakan kalimat ajaib yang berhasil menyegarkan mata. Sebagian orang yang sudah menguap tadi mendadak bersemangat lagi. Bagaimana tidak, materi yang membosankan, ditambah dengan ruangan yang sejuk—akibat dipasang dua pendingin ruangan—sangat mendukung mata untuk terpejam.
Kebanyakan mahasiswa memilih untuk berhambur keluar kelas, meskipun ada sekumpulan grup yang masih ingin tinggal. Ada yang harus mengikuti rapat organisasi, ada yang harus mengikuti UKM, dan ada pula yang ingin cepat berkencan dengan bantal dan gulingnya di rumah.
Dan, Ian sebagai salah satu mahasiswa yang harus mengikuti UKM pun terpaksa berjalan dengan langkah gontai. Setelah meregangkan tubuhnya yang terasa pegal, Ian hendak pergi ke arah GOR jika saja tidak ada yang memanggil namanya.
"Woi, Ian!" seru Bima. "Sini."
Malas berteriak, Ian lekas menghampiri Bima untuk menanyakan maksud dan tujuan lelaki itu. "Kenapa, Bim?"
Bima tersenyum, lantas menepuk bahu Ian. "Hari ini lo nggak usah latihan dulu, oke? Tenang aja, gue udah minta izin sama Pak Raihan."
"Loh, kok, gitu? Lo pikir, cuma karena gue dihajar cewek-cewek, gue jadi nggak bisa latihan, gitu? Gue nggak selemah itu, Bim," tolak Ian.
"Lagian, yang disiksa itu muka gue ..., bukan tangan sama kaki gue," lanjutnya. Ya, Ian masih merasa mampu untuk mengikuti latihan basket yang biasanya rutin ia lakukan setiap minggu. Masa iya hanya karena cedera sedikit saja lelaki itu mendadak menjadi pemalas? Jika Ian menolak hadir pada latihan kali ini hanya karena tindakan konyolnya sendiri, bukankah ia malah terkesan mencari-cari alasan?
"Masih mending kalau masalahnya cuma itu, Ian," timpal Bima, "memangnya lo nggak sadar kalau keadaan lo sekarang udah mirip pocong?"
Lingkar hitam di sekitar mata Ian tampak jelas, Bima masih berusaha untuk membujuk sahabatnya itu. "Gue yakin semalem lo kurang tidur gara-gara ..., ya, gara-gara mikirin masalah lo, kan? Sampe-sampe lo bertindak di luar nalar kayak tadi." Prihatin dengan kondisi Ian, Bima hanya tak ingin sahabatnya terlalu memaksakan kehendak. "Kalau lo maksa latihan hari ini juga percuma aja, Ian, hasilnya nggak akan maksimal ..., malahan bisa-bisa lo yang celaka nanti."
Sedetik kemudian, Bima tersenyum penuh arti, lalu berniat menyambung ucapannya. "Kalau lo sakit, kan, nanti Tania juga yang repot—eh, salah!"
Tentu saja, tatapan tidak ramah dari Ian memaksa Bima untuk meralat perkataannya. "Maksudnya, nanti gue juga yang repot." Mengulum senyum, diam-diam Bima bersiap menyusun rencana berikutnya.
"Apaan, sih? Tania terus yang dibahas," ucap Ian, terkesan malas.
"Oh, bener, nih, nggak mau ngebahas Tania?" Bima menjaili Ian, berpura-pura melihat ke arah belakang sahabatnya itu sehingga terkesan ada orang di sana. "Tan, sini, Tan!" pekiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...