🪐 09 • Berpindah Tangan 🪐

109 19 0
                                    

Semua persiapan sudah dilakukan, mulai dari berpenampilan rapi sampai membeli buket mawar berukuran sedang, Ian melangkah dengan percaya dirinya ke arah tempat yang dijanjikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua persiapan sudah dilakukan, mulai dari berpenampilan rapi sampai membeli buket mawar berukuran sedang, Ian melangkah dengan percaya dirinya ke arah tempat yang dijanjikan. Sengaja datang tiga puluh menit lebih cepat dari waktu yang ditentukan, lelaki dengan hoodie berwarna hitam tersebut berniat membuat permulaan sebaik mungkin.

Namun, tak disangka, tepat saat Ian hendak memasuki kafe, matanya tak sengaja menangkap kehadiran sosok perempuan—dengan rambut hitamnya yang tergerai indah—sedang melintas di depannya. Berniat menyapa gadis itu, Ian terang-terangan menunjukkan eksistensinya. "Tania," panggilnya.

Cara itu terbukti efektif karena dalam waktu beberapa detik, Tania refleks menghentikan langkah, lantas menoleh. Setelah menyipitkan mata guna memastikan penglihatannya, mata Tania kembali ke ukuran normal ketika mengetahui siapa orang yang memanggilnya tadi. "Ian?" gumamnya.

Tanpa ragu, Ian berjalan santai ke arah gadis yang tampak mengenakan kaus putih dan celana jin kodok tersebut. "Hai." Entah mengapa, hanya kata 'hai' yang mampu keluar dari mulutnya.

"Eh, Ian," sahut Tania, "kita ketemu lagi." Gadis itu menerbitkan senyum ramah, membuat Ian terpaku sesaat.

"Iya, ya, kebetulan banget. Padahal, tadi baru ketemu," balas Ian.

"Lo lagi ngapain di sini?" lanjutnya bertanya.

"Jajan." Jujur saja, sebenarnya Tania sangat malas berurusan dengan banyaknya orang yang berlalu-lalang, ditambah dengan bunyi klakson kendaraan yang menyakitkan di telinga. Akan tetapi, apa boleh buat? Tania ingin sekali memburu makanan favoritnya. Persetan dengan jalan yang ramai, intinya Tania ingin sekali mengonsumsi dessert.

"Gue mau ke toko kue yang baru dibuka itu, loh, yang di sana," tambah Tania sambil menunjuk ke arah tempat yang dimaksud.

Ian mengikuti arah telunjuk Tania, lantas berkomentar. "Oh, iya, iya, tokonya memang baru dibuka tiga hari lalu, sih. Temen gue banyak yang nyaranin ke sana juga, tapi, ya ..., gue masih ragu dan ... memang belum sempet aja."

"Eh, iya, Sofi mana? Tumben, kalian nggak bareng," lanjutnya bertanya.

"Oh, kalau Sofi lagi ada urusan penting, katanya. Tapi, lo pasti tau, kan, kalau urusan penting menurut dia itu sama dengan ... pacaran?" Tania tertawa pelan.

Aura positif Tania menular padanya Ian refleks menyunggingkan senyum. "Nggak usah ditanya lagi, dua orang itu memang nggak bisa jauh, nempel mulu kayak surat sama perangko." Ian merapatkan kedua telunjuknya, berniat mengumpamakan Bima dan Sofi.

Mendadak kesal karena teringat akan kebiasaan Bima, Ian refleks menggerutu. "Ujung-ujungnya apa? Si Bima pasti nyuruh gue ngerjain tugasnya lagi gara-gara lupa waktu. Sial!"

Tania tertawa pelan, baru pertama kali melihat sang pangeran kampus mengeluh. Mendongakkan kepalanya, gadis itu dapat melihat dengan jelas papan nama berbentuk cangkir kopi yang bertuliskan 'Kafe Gia'. "Oh, iya, kalau lo sendiri pasti lagi ... nge-date, ya?" tebaknya.

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang