🪐 77 • Menjauh 🪐

50 6 0
                                    

"Tan, aku—"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tan, aku—"

"Nggak papa, Ian," sela Tania cepat. Tersenyum paham, gadis itu meneruskan kalimatnya. "Kamu nggak usah jelasin apa-apa, aku ngerti, kok. Sekarang ... aku mau kita bicarain masalah ini, ya."

Ian menunduk, tak berani menatap Tania. Ah, dari hatinya yang paling dalam, sebenarnya Ian tak bermaksud membohongi Tania karena niat awalnya memang hanya ingin menyelamatkan gadis itu dari sakit hati. Namun, sayang, tindakannya tersebut ternyata salah besar. "Kamu boleh marahin aku sepuas kamu, Tan. Aku memang salah. Aku udah keterlaluan," ucapnya lirih.

Tak ada balasan dari Tania, rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Berbagai macam kemungkinan buruk hinggap di kepala, hingga Ian terganggu dengan salah satu dampak di antaranya. "Apa sekarang ... kamu mau putusin aku?" Nada suaranya terdengar lemah.

Melihat Ian yang belum mau menatapnya, Tania tertawa pelan. "Kamu, tuh, ngomong apa, sih? Siapa juga yang mau putusin kamu, hem?" Beralih mengusap lembut pipi Ian, Tania berusaha menenangkannya. "Ian ..., aku nggak akan putusin kamu kalau bukan kamu sendiri yang minta. Jadi, jangan mikir aneh-aneh, ya."

Ian terdiam, memejamkan matanya sambil menikmati sentuhan tangan Tania yang selalu mengundang candu. Butuh waktu sepuluh detik untuk mengumpulkan segenggam keberanian, kini Ian baru berani mengangkat kepala, menatap sosok gadis yang telah disakitinya.

"Jangan tegang gitu, dong," Tania tertawa kecil. "Aku bukan dosen penguji yang ada di ruang sidang kamu kemaren, Ian. Aku nggak akan nanya macem-macem, kok."

Setelah Ian dirasa sedikit tenang, Tania baru mau memulai pembahasan inti.  "Aku nggak marah sama kamu, Ian. Cuma ... kadang, aku mikir aja kalau aku lebih baik jadi sahabat kamu, supaya kamu bisa terbuka sama aku, dibanding aku jadi pacar kamu, tapi kamu ... bohong sama aku."

Tania beralih meraih tangan Ian, lantas menautkan jemari mereka. "Belakangan ini, kita jarang ketemu. Dan, kalaupun kita ketemu ..., kamu jadi lebih sering ngelamun." Gadis itu tersenyum kecil. "Sejak ada Clara ..., aku sadar kalau fokus kamu terbagi. Aku tau kamu masih peduli sama dia. Maka dari itu, untuk sementara ini ..., ada baiknya kalau kita menjauh."

Terperanjat, Ian sontak melebarkan matanya. "Nggak." Lelaki itu menggeleng, lantas mengeratkan genggaman tangan mereka. "Aku nggak mau jauh dari kamu, Tan. Aku cinta sama ka—"

Tania lekas menempelkan telunjuknya ke bibir Ian, menghentikan niat lelaki itu untuk mengucapkan kalimat secara utuh. "Kamu nggak boleh ngucapin kata 'cinta' kalau kamu sendiri ragu sama hal itu." Tersenyum pilu, Tania mencoba menerangkan. "Aku tau sekarang kamu bingung sama perasaan kamu sendiri. Kamu memang peduli sama aku, tapi aku tau kalau kamu juga peduli sama Clara. Makanya, aku mau kamu pikirin semuanya dulu. Aku minta kita menjauh, bukan berarti aku akan ninggalin kamu. Tapi, aku ngasih kamu waktu."

Tak mau Ian bersedih, Tania sengaja menyelipkan candaan—berniat menghibur. "Jangan salah, loh, aku nggak mau anak orang sampe tertekan gara-gara pacaran sama aku." Gadis itu tertawa pelan.

Setelah Ian dirasa bisa diajak bicara serius kembali, Tania bermaksud menegaskan sesuatu. "Ya, aku cuma nggak mau kamu nyesel sama pilihan kamu sekarang. Aku nggak mau kalau kamu sampe nggak bahagia karena aku. Aku nggak mau ngerusak hubungan kamu sama Clara. Jadi, aku kasih kamu waktu buat ambil keputusan."

"Sampai kapan pun, aku akan selalu nunggu keputusan kamu. Saat kamu udah tau keputusan apa yang harus kamu ambil, kamu boleh dateng ke aku. Dan, seandainya kamu milih Clara ..., kamu boleh putusin aku saat itu juga. Kalau kamu memang cinta sama Clara, kamu kejar dia, Ian ..., kejar kebahagiaan kamu. Sebagai sahabat, aku akan selalu support apa pun keputusan kamu. Kalaupun hubungan kita harus berakhir, aku mau kita berakhir dengan baik-baik juga. Nggak boleh sampe ada dendam, oke?" lanjutnya, diakhiri senyuman yang menenangkan.

Deg. Hancurlah sudah! Tatapannya berubah sendu. Ingin sekali Ian mengatakan sesuatu untuk menentang, tetapi ia pun tak tahu harus berbuat apa. Bak sampan di tengah laut, kini dirinya masih terombang-ambing mengikuti arus. Mendadak buta tujuan di antara dua pilihan yang tersaji. Ya, Tuhan, kenapa Engkau mengirimkan malaikat sepertinya? Kenapa kamu selalu baik sama aku, Tania? batinnya. 

Ah, Tania terlalu baik untuknya. Padahal, gadis itu juga sedang memendam kecewa. Di saat hatinya sendiri pun retak, Tania masih bisa mengerti perasaan orang lain. Bukankah ini tak adil?

"Udah, ah, jangan sedih terus." Tania tertawa pelan ketika suasananya berubah sedih. "Kamu, kan, pernah bilang sama aku kalau seorang manajer itu harus bisa mengambil keputusan dengan tepat, bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun. Jadi, kamu sebagai calon manajer juga harus bisa buktiin kata-kata itu, oke? Ya, anggap aja ini latihan dari aku sebelum kamu terjun ke dunia kerja."

Menghela napas lega, akhirnya Tania bisa menyampaikan semua yang ingin diungkapkannya. "Cuma itu aja yang mau aku omongin, kok. Tuh, nggak serem, kan? Aku udah bilang kalau aku bukan dosen penguji kamu, loh, Ian." Tania tertawa kecil, berharap bisa menghapus kekhawatiran sang kekasih. Setelah urusannya dirasa tuntas, gadis itu lekas berpamitan. "Ya udah, kalau gitu, aku pergi, ya."

Namun, baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba saja Tania merasakan ada tangan besar yang melilit tubuhnya dari belakang, ditambah dengan punggungnya yang bersentuhan dengan dada bidang seseorang. Dirasakannya pelukan tersebut makin erat seiring waktu bergerak, pihak lelaki seolah-olah tak ingin kehilangan. Akan tetapi, sang gadis juga tak bisa tinggal diam.

Memejamkan mata sejenak, Tania mengumpulkan keberanian untuk melepaskan tangan yang melingkari perutnya itu, lantas berbalik menatap si pelaku. "Please ..., jangan kayak gini. Tenangin diri kamu, ya. Semua masalah nggak akan bisa selesai kalau pake emosi." Tania menangkup pipi sang kekasih. "Aku nggak akan ninggalin kamu. Kamu pikirin dulu semuanya matang-matang, baru kita bicara lagi, ya. Kayak yang aku bilang tadi, kamu itu butuh waktu."

"Cukup inget satu hal, Ian ..., aku sayang sama kamu. Kamu pasti bisa, aku percaya sama kamu," lanjutnya, menatap tulus sang kekasih.

Perlahan, Tania menurunkan kedua tangannya dari wajah Ian, kemudian bergegas pergi dari sana. Bukan apa-apa, takutnya ia malah tak tega jika terlalu lama berada di dekat Ian. Gadis itu tak ingin melihat kekasihnya terkurung dalam belenggu kebimbangan terus-menerus.

Sementara, Ian yang memandangi kepergian sang gadis pun hanya mampu menunduk. Lelaki itu membenci dirinya sendiri. Mengapa rasanya berat sekali untuk menentukan pilihan? Ian ingin mengejar Tania, tetapi jawaban pasti pun belum dikantonginya. Lantas, apa yang harus ia lakukan sekarang?

 Lantas, apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Putus, nggak, nih?😱

Jangan lupa vote dan komen, guys!❤️


Dipublikasikan : 20 November 2022

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang