Lirikan iri dari banyaknya pasang mata di Ruang Nyamuk menyambut kehadiran dua insan yang sedang kasmaran. Bagaimana tidak, Ian dan Tania datang dengan tangan yang saling bertaut. Melangkah lebih jauh, mereka mulai mendengar adanya desas-desus berkonotasi buruk. Tak ayal, keduanya menjadi pusat perhatian saat ini.
"Eh, liat, deh. Itu, kan, Ian. Seriusan, sekarang dia ngegandeng anak DKV?"
"Iya, kalau nggak salah namanya Tania. Beruntung banget, ya, dia bisa jadian sama Ian."
"Beruntung apanya, sih? Yang ada malah sial di Tania-nya, lah! Kasian banget, cewek baik-baik gitu bakal jadi korban PHP si playboy. Percaya sama gue, paling bentar lagi juga putus."
"Setuju! Dia belum tau aja belangnya si Ian gimana. Nanti juga nyesel sendiri, terus ujungnya nangis-nangis."
Ketenangannya terusik, Tania spontan menunduk. Melihat lantai yang dipijakinya jauh lebih menarik ketimbang menghadapi ekspresi sekumpulan mahasiswi yang menunjukkan penolakan terhadap kedekatannya dengan Ian. Jujur, ia sedikit tak suka mendengar pendapat yang melenceng jauh dari kenyataan. Ian tak seperti apa yang mereka sebutkan tadi, pikir Tania.
Berbelok arah untuk memesan makanan terlebih dahulu, sang gadis berharap telinganya 'tidak panas' selama ia berinteraksi dengan si penjual. "Ehmm, Mbak, saya mau pesen yamin manis pangsitnya satu, ya. Terus, minumnya ...." Tania melirik Ian, bermaksud meminta jawaban lelaki itu. Namun, melihat Ian yang menggeleng, Tania memutuskan untuk memilih sendiri minuman yang sekiranya disukai sang kekasih. "Jus mangga."
Setelah selesai, keduanya langsung bergerak menuju area pojok. Dan, sayangnya, Tania harus kembali dihadapkan dengan banyaknya cercaan orang. Makin tak nyaman, gadis itu spontan melonggarkan tautan jari tangannya dengan Ian, berniat melepaskan. Namun, tentu saja, tidak akan semudah itu, kan?
Ian yang menyadari adanya pergerakan aneh dari sang gadis pun malah makin mengeratkan genggaman tangan mereka, mempertahankan posisi agar sela-sela jari Tania tetap terisi oleh jemarinya. "Kenapa ..., hem?"
Tania refleks menatap Ian, lantas menggeleng pelan. "Nggak papa, cuma risi aja. Dari tadi mereka ngeliatin kita terus."
"Aku nggak mau kamu jadi omongan orang gara-gara aku," lanjutnya, menjelaskan.
"Biarin aja," bisik Ian, "aku udah biasa, kok, diomongin kayak gitu." Mengerti bahwa Tania mencemaskannya, Ian mencoba memberikan pengertian. "Mereka, tuh, nggak tau apa-apa, jadi nggak usah terlalu dipikirin, ya."
"Pokoknya, kamu jangan lepasin tangan kamu, oke?" pintanya lagi.
Tania mengangguk, membuat Ian menarik kedua sudut bibirnya. Berniat menegaskan, ia tak ingin gadisnya sampai terhasut oleh ucapan yang tidak benar. "Tan, aku nggak main-main sama hubungan kita. Kamu percaya sama aku, kan?" Tak ayal, Ian melebarkan senyumnya tatkala Tania mengangguk yakin, mengiakan.
Beruntung, area pojok yang dituju sudah dekat, kini Ian dan Tania tak perlu lagi buang-buang waktu mendengarkan celotehan. Mendaratkan bokong di kursi masing-masing, keduanya memilih duduk bersebelahan. Tak heran, Ian jadi lebih mudah mengamati tingkah laku kekasihnya itu.
Sesekali ia mendapati Tania yang sedang meliriknya. Akan tetapi, lucunya, gadis itu pura-pura tak melihat ketika pandangan mereka sempat bertemu. Dan, masalahnya, hal tersebut terjadi berulang kali. Tertawa pelan, Ian spontan bertanya. "Kamu kenapa?"
Tampaknya, Tania setengah enggan berbicara, terbukti gadis itu sempat sedikit membuka mulut sebelum kembali mengunci rapat mulutnya. Menebak bahwa Tania ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan karena suatu hal, Ian berinisiatif menanyakan ulang. "Hei," panggilnya pelan. Sesaat ia mengusap punggung tangan Tania. "Kenapa? Kamu mau ngomong apa? Nggak papa, bilang aja."
Menatap Ian ragu, Tania harus memastikan sekali lagi. "Apa aku boleh ... nanya sesuatu sama kamu?"
"Ya, pasti boleh, dong. Memangnya, kamu mau nanya apa? Kok, keliatannya serius gitu?" balas Ian.
"Ini soal ... Clara." Tania memelankan suaranya di akhir kata. Ah, rasanya sungkan ketika harus menyebut nama orang yang pernah menyakiti Ian. Namun, apa boleh buat? Ia butuh mengetahui sesuatu.
Mendengar adanya nada ketakutan dari sang kekasih, Ian beralih mengusap pipi mulus itu, lantas tersenyum menenangkan. "Tanya aja, nggak papa. Kamu boleh nanya apa pun sama aku. Nggak bakal ada lagi yang aku tutupin, apalagi soal masa lalu."
Cukup lega mendengar tanggapan Ian, Tania baru berani bertanya. "Ehmm, kamu sama Clara ... udah lama pacaran, ya?"
"Ya, lumayan, kita pacaran udah lima tahun." Ian tersenyum miris. "Lima tahun aku ngebangun kepercayaan aku dan semuanya rusak karena kejadian itu."
"Clara itu orangnya gimana? Ehmm, maksud aku ..., sikap dia ke kamu sehari-hari, tuh, gimana? Apa dia sering nemenin kamu kalau pergi-pergi ... atau mungkin dia juga suka masakin kamu?" tanya Tania lagi.
Ian mengerutkan dahi, tak bisa menerka ke arah mana Tania ingin membawa pembicaraan ini. Namun, tak masalah, lelaki itu akan tetap menjawab. "Kalau dibilang sering nemenin, ya, sering banget soalnya kita ketemu juga hampir setiap hari. Belum lagi kalau orang tua kita saling mampir, ujung-ujungnya kita main berdua lagi. Ya ..., kayak pasti ada aja kesempatan buat kita ngabisin waktu bareng tanpa kita minta."
"Tapi, dia nggak terlalu rajin masak, sih, soalnya isi kepala dia, tuh, kebanyakan soal kerjaan. Jadi, dia lebih milih waktunya buat masak diambil buat dia belajar lebih banyak hal tentang bisnis. Makanya, dia yang paling enak kalau diajak sharing. Anaknya memang ambisius parah, sih, tapi dia juga mandiri banget," sambungnya.
Ah, sepertinya Ian tahu banyak sekali mengenai mantannya itu. Wajar, mau bagaimana pun, mereka pernah terhubung dalam sebuah ikatan yang dinamakan cinta. Terlebih, dalam jangka waktu yang lama. "Apa dia ... lebih cantik dari aku?" Tania meremas celana jogger-nya, dituntut menyiapkan hati untuk mendengar jawaban Ian berikutnya.
Namun, tak disangka, Ian malah tertawa mendengar pernyataannya tersebut. "Ya, ampun, kamu serius nanyain itu?"
"I-iya, memangnya kenapa?"
Menggeleng pelan, Ian tersenyum paham setelah berhasil menyimpulkan sesuatu. "Nggak papa, sih, tapi cantik itu relatif. Dan, karena aku udah tau ke mana arah pembicaraan ini, sekarang aku minta kamu dengerin aku."
"Tania ..., kamu nggak perlu jadi Clara atau bahkan melebihi Clara supaya bisa bahagiain aku. Aku cuma mau kamu jadi diri kamu karena aku suka Tania yang apa adanya. Dengan kamu yang selalu ada buat aku aja, itu udah lebih dari cukup, Tan," ungkap Ian.
Tepat sekali, Tania sempat merasa minder. Gadis itu takut tak bisa menggantikan Clara di hatinya Ian, apalagi mereka menjalin hubungan dalam waktu yang tidak sebentar. Ya, Tania hanya tak ingin mengecewakan Ian. Namun, siapa sangka bahwa kenyataan mengatakan hal yang sebaliknya? Ian menerima Tania apa adanya, sebuah fakta yang mampu menghadirkan letupan asing di hati.
Jangan menilai orang dari 'katanya', tapi dari 'nyatanya'🤗
Jangan lupa vote dan komen, guys!❤️
Dipublikasikan : 27 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...