🪐 80 • Tragedi Kamar Nomor 20 🪐

60 6 2
                                    

Semangat yang membara perlahan berubah menjadi frustrasi, Ian belum berhenti mondar-mandir sejak tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semangat yang membara perlahan berubah menjadi frustrasi, Ian belum berhenti mondar-mandir sejak tadi. Bagaimana tidak, percakapannya dengan Sofi beberapa menit lalu meninggalkan kecemasan. Ya, ia baru saja pulang dari rumah sahabatnya itu tanpa mendapatkan hasil yang sesuai.

"Tania nggak ada di sini, Ian," ucap Sofi memberitahu.

"Fi ..., gue tau Tania nginep di rumah lo karena dia ngehindarin gue, kan? Tapi, please ..., gue butuh ngomong sama dia.  Gue mau kasih jawaban gue," ungkap Ian, penuh harap.

Baiklah, Sofi tersenyum bungah mendengarnya. Dilihat dari gelagat Ian, gadis itu sudah bisa memprediksi jawaban apa yang akan diberikannya untuk Tania. Dalam hati, ia bersorak senang. Namun, sayang, Tania memang tidak ada di rumahnya saat ini. "Ya, oke ..., kata-kata lo itu memang ada benernya, sih, Ian. Tapi, kali ini gue serius, Tania nggak ada di sini. Dia udah berangkat ke Bandung kemaren."

"Apa?! Di Bandung?" Ian terperanjat. "Kok, dia nggak bilang sama gue? Ngapain dia ke sana? Sama siapa dia pergi?"

Dihujani dengan pertanyaan bertubi-tubi, Sofi terkekeh. "Tanya aja sama orangnya langsung. Makanya, jangan ngurusin mantan lo mulu." 

Cukup lama menatap lekat benda pipih di genggamannya, pada akhirnya Ian memberanikan diri untuk memanggil nomor sang kekasih. Nada sambung terdengar, pertanda bahwa panggilannya belum dijawab oleh gadis itu, Ian mengembuskan napas pelan. Apakah Tania masih enggan menerima panggilannya?

Tak menyerah, Ian mencoba sekali lagi. Dan, ternyata, usahanya yang kedua membuahkan hasil. Panggilannya diangkat oleh sang pujaan hati, ia sontak melebarkan mata.

"Halo," ucap Tania pelan.

Meskipun volumenya kecil, tetapi Ian sudah merasa sangat senang karena bisa mendengar suara Tania. Ah, lelaki itu sangat merindukannya.

"Halo, Ian? Kamu denger suara aku, kan?"

Suara sang gadis mengalun indah di telinganya, Ian spontan menjawab. "Iya ..., jelas banget di telinga aku."

Tak terdengar balasan lagi dari seberang sana, Ian berinisiatif membuka obrolan. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau ke Bandung, hem? Gitu, ya, sekarang mainnya sembunyi-sembunyi."

"A-aku ... aku nggak sembunyi, kok. Kemaren aku udah pamit sama kamu."

"Pamit dalam keadaan aku yang nggak sadar itu nggak dihitung, loh." Ian tertawa pelan.

Tania terdiam, membuat Ian tersenyum penuh kemenangan. "Kenapa? Kaget, ya, aku bisa tahu kamu dateng ke rumah aku? Kamu, tuh, nggak pinter bohong, Tania."

Masih tak ada sahutan, Ian beralih menanyakan topik intinya kembali. "Sekarang aku tanya, kamu sama siapa di sana?"

"Sama temen lama aku."

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang