Pertandingan basket antar kampus makin dekat, Bima sebagai salah satu anggota yang diyakini akan terlibat pun berusaha untuk menyampaikan keresahannya pada sang kapten. "Lawan kita kuat-kuat, Ian. Kita nggak boleh anggap remeh mereka." Kebetulan sekali, Ian dan Bima memiliki jadwal kuliah yang sama hari ini. Jadi, keduanya memutuskan untuk berbincang sejenak di depan ruangan yang habis dipakai pembelajaran barusan.
Ragu, Bima berniat memberikan informasi seputar pertandingan tersebut meskipun hanya berdasarkan kabar angin yang berkeliaran saja. "Gue denger-denger tim Orbit Clay (OC) lagi improve banget sekarang. Dan, kalau gue nggak salah, tim Rare Airstrike (RA) punya rencana buat merekrut pelatih andal."
"Gila, mereka semua memang bener-bener mempersiapkan diri buat pertandingan nanti," sambungnya berkomentar, "kalau gini caranya, bisa habis tim kita!"
Berbanding terbalik dengan reaksi Bima, Ian malah menanggapi dengan santai. "Terus? Lo takut?"
Melihat Bima yang hendak membuka suara, Ian langsung buru-buru menyela. "Inget, Bim ..., tim Fearless Five (FF) nggak pernah kenal kata takut." Lelaki itu berniat meneruskan kalimatnya, memberikan motivasi. "Kita juga udah giat latihan, kok. Masalah hasilnya gimana itu nggak penting, tapi yang jelas usaha dulu."
"Ya ..., semoga aja kita bisa kasih yang terbaik," timpal Bima.
"Pasti, lah!" Ian menepuk bahu Bima. "Dan, kalaupun—amit-amit—nanti kita sampe kalah ..., kita harus kalah dengan terhormat. Lo ngerti maksud gue, kan?" Ya, menang dan kalah adalah hal yang biasa. Namun, Ian tidak suka jika timnya kalah dengan cara yang memalukan.
Bima tersenyum paham. "Siap, laksanakan, Kapten!" Totalitas tanpa batas, Bima hanya perlu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sayang sekali, percakapan mereka harus terhenti akibat ada suara yang memanggil salah satu di antaranya. "Ian." Tak ayal keduanya sontak menoleh, baik Ian maupun Bima.
Teresa, batin Ian. Belum sempat Ian membalas sapaannya, gadis itu sudah terlebih dahulu menubruk tubuhnya. Tertegun, Ian sama sekali tak berniat membalas pelukannya. Sedangkan, Bima yang sudah terlalu sering menyaksikan pemandangan semacam ini pun hanya mampu melempar tatapan malas.
"Gue kangen sama lo." Merasa tak ada respons dari sang kekasih, Teresa menjauhkan tubuhnya, lantas mendongak.
"Ian? Hei, gue kangen banget sama lo, tau," Gadis dengan rambut cokelat madu itu mengulangi pernyataannya. Melihat Ian yang masih bungkam, ia berniat memberikan umpan. "Kayaknya lo yang nggak kangen sama gue, ya?"
Ian masih setia mengunci bibirnya, membuat Teresa makin heran. "Nggak seru, ah. Belakangan ini lo ke mana aja, sih? Kemaren gue demam, tapi lo sama sekali nggak jenguk gue." Mendadak teringat akan Ian yang terkesan tak mengacuhkannya semenjak mereka menjalin hubungan, akhirnya Teresa mengungkapkan unek-uneknya. "Oke, lah, kalau lo sibuk dan memang nggak bisa jenguk gue juga nggak papa. Tapi, minimal telepon, kek ..., atau chat, kek. Pokoknya, gue sebel sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
عاطفيةSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...