🪐 24 • Kirim Penyelamat 🪐

88 16 0
                                    

"Coba gue liat," pinta Ian, menyingkirkan tangan Tania yang menutupi pipinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Coba gue liat," pinta Ian, menyingkirkan tangan Tania yang menutupi pipinya.

Setelah kepergian Teresa, kini hanya tersisa Ian dan Tania. Melihat pipi sang gadis yang sedikit memerah, tatapan Ian sontak menyendu. "Pasti sakit, ya?"

Tersenyum menenangkan, Tania menyangkal pertanyaan lelaki di hadapannya. "Nggak." Tania mengibaskan tangannya di dekat pipi guna mengusir rasa panas. "Kalau cuma segini doang, nggak kerasa sakit, kok."

Baiklah, Ian bodoh jika langsung memercayai ucapan Tania. Faktanya, gadis itu kembali meringis ketika kibasan tangannya tak sengaja menyentuh permukaan pipi yang terkena tamparan tadi. "Itu yang namanya nggak sakit, hem?"

Tania menampilkan deretan gigi putihnya, tersenyum kikuk. "Perih sedikit aja, sih. Tapi, satu tamparan nggak akan bikin gue bonyok kayak lo kemaren."

Ian memandang Tania dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejumlah kata sudah dirangkai dalam otak, tetapi ujung-ujungnya memang hanya satu kata tanya saja yang mampu ia lontarkan. "Kenapa?"

"Hem?" Tak terlalu paham, Tania meminta Ian memperjelas perkataannya.

"Kenapa lo ... ngelindungin gue?" ucap Ian, ingin tahu. "Lo, tuh, ya, nekat teriak nekat. Untung lukanya nggak parah, kalau sampe memar gimana, coba?"

Tersirat nada kekhawatiran di sana, Tania mengerjap beberapa kali. "Ehmm ..., kalau gue nggak kayak gitu, nanti lo lagi yang kena. Gue nggak mau." Tania sempat menyaksikan bagaimana Ian disiksa banyak gadis beberapa waktu lalu dan ia sungguh tidak tega jika harus melihat kembali adegan ulangnya.

Jawaban polos tersebut nyatanya berefek besar, Ian sempat terpaku sesaat. Tanpa sadar, lelaki itu menarik kedua ujung bibirnya. "Makasih, ya."

"Kita, kan, temen," balas Tania, "jadi nggak usah bilang makasih."

Ian tersenyum kecil menanggapinya. Bertemu dengan Tania memang membangkitkan semangat, ia tak menyangka bahwa gadis yang jarang berada di tempat-tempat ramai, kini mendadak menjumpainya. Tapi, tunggu sebentar! Mengapa juga Tania mau repot-repot datang kemari? Penasaran, lelaki berambut messy itu spontan bersuara. "Eh, iya, Tan, ngomong-ngomong, kok, lo bisa ada di sini? Memangnya lo ... suka main ke gedung FEB juga?"

"Oh, bukan, Ian," bantah Tania, sekilas melambaikan tangan.

"Tuh, kan, gue hampir lupa. Untung aja lo ngingetin," sambungnya. Tania lekas merogoh benda mini dari kocek celananya.

"Ini kunci motor lo, kan?" Tania menyodorkannya. "Kayaknya tadi jatuh soalnya gue nemuin ini di kolong kursi."

Sontak saja, Ian refleks merogoh saku celananya. "Aduh, gue ceroboh banget. Thank you, ya." Ian langsung mengambil kunci motornya kembali.

Melihat Tania yang mengangguk, Ian masih merasa ada hal yang janggal. "Tapi ..., lo tau gue ada di depan ruangan ini?"

Tania mengiakan, lantas memberikan penjelasan. "Kata Bima lo ada di sini, jadi gue cepet-cepet lari. Kasian, nanti lo nggak bisa pulang lagi."

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang