🪐 83 • Permohonan 🪐

68 7 0
                                    

Suasana hati Ian tampak membaik, Tania lekas menawarkan tempat ternyaman untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana hati Ian tampak membaik, Tania lekas menawarkan tempat ternyaman untuknya. "Sini." Gadis itu meletakkan kepala Ian di pundaknya, lantas mengusap lembut pipi sang kekasih. "Sekarang ... kamu cerita sama aku. Sebenernya, apa yang terjadi di sana?" 

Ah, lagi-lagi, Ian selalu terbuai dengan perlakuan Tania padanya. Seiring dengan sapuan ibu jari Tania pada pipinya, Ian mulai memejamkan mata sekaligus bercerita. "Aku difitnah, Tan. Tadi Clara telepon aku ..., ngakunya, sih, diculik ke hotel, terus dia diancam mau dibunuh sama seseorang."

Ian membuka matanya. "Ya, awalnya aku percaya-percaya aja karena persaingan bisnis, tuh, banyak yang nggak sehat, kan? Dan, aku salah satu korbannya juga waktu itu. Jadi, aku pikir Clara memang berada dalam bahaya soalnya aku juga tau musuhnya Om Herman itu banyak. Sampe akhirnya, aku panik ..., aku dateng ke hotel itu karena mau gimana pun ini udah menyangkut nyawa seseorang."

"Sesampainya di sana, aku langsung lari, aku dobrak pintu, sampe aku berhasil nemuin Clara dalam keadaan tangan terikat. Tapi, kamu tau, nggak?Pas aku mau bantu dia buat buka ikatan tangannya, aku kepeleset karena lantainya licin banget, Tan, sumpah kayak ada minyaknya gitu, nggak tau, deh, apaan. Dan, di situ posisinya nggak bagus buat aku karena aku jatuh dan nimpa Clara," lanjutnya.

Ian beralih membenahi posisi kepalanya, kemudian mengembuskan napas pelan sebelum kembali meneruskan cerita. "Terus, kamu tau apa yang terjadi selanjutnya? Aku nggak tau gimana caranya, tapi yang pasti papa aku, Pak Herman—papanya Clara, Pak Thomas, sama Bima bisa tiba-tiba ada di sana. Dan, setelah itu ..., semuanya selesai, Tan. Clara teriak-teriak minta tolong, manggil nama papanya, seolah-olah lagi ketakutan banget."

"Sampe akhirnya ..., Clara dengan segala air mata buayanya menghipnotis semua orang biar percaya sama dia. Dia mulai ngarang cerita, dia bilang kalau aku ngehamilin dia, lah, apa, lah ..., bahkan dia sampe nyebar fitnah kalau aku, tuh, nyulik dia dan ... aku mau ngelakuin hal bejat sama dia. Ya ..., aku nggak nyangka aja dia ngomong gitu. Dan, nyeselnya lagi ..., aku telat sadar kalau aku, tuh, dijebak." 

Menurunkan volume suara, Ian pun turut mengutarakan kekecewaannya. "Memangnya image aku di depan semua orang, tuh, jelek banget, ya?" Lelaki itu tersenyum sinis. "Apa kesannya aku ini memang suka mainin cewek, sampe Bima aja bisa nuduh aku kayak gitu?" Masih merasa tak terima, Ian mengungkapkan bagian lain dari rasa sakitnya. "Dia sahabat aku, loh, Tan. Kok, bisa dia lebih percaya sama Clara dibanding aku?"

Ian menghela napas lelah. "Semua orang nggak percaya sama aku, nggak ada yang ngerti perasaan aku. Ah, rasanya ..., aku mau hilang aja dari dunia ini."

Setelah Ian menuntaskan cerita, Tania tersenyum paham menanggapinya. Sejak tadi, gadis itu memang sengaja tak mau memotong agar keluh-kesah Ian sepenuhnya tersampaikan. Tanpa menghentikan usapan jarinya di pipi sang kekasih, Tania lekas merespons.  "Kalau kamu nggak ngelakuin itu, kenapa kamu harus ngaku kayak tadi, hem? Orang-orang bisa makin salah paham sama kamu."

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang