Siapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa.
Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Waktu seakan-akan berhenti, Ian refleks melebarkan mata ketika mendengar penuturan Tania. Sungguh kata-kata yang berefek besar bagi jantungnya. Tak ayal, ia menatap sang gadis penuh damba. "Apa ... itu artinya lo nerima perasaan gue?"
Deg. Gawat! Kini, posisinya berbalik, giliran Tania yang menunduk, tidak berani menatap Ian. Ini buruk sekali, ia secara refleks mengucapkan hal yang bersifat subjektif. Percayalah, barusan itu hatinya yang berbicara. Ian yang tampak emosional membuat perasaan Tania ikut meluap hingga jawaban yang keluar tak sepenuhnya berdasarkan logika. Terus terang, menyaksikan Ian menahan lukanya seorang diri adalah pemandangan yang sangat menyakitkan.
Tak ada sahutan, Ian spontan memegang kedua pundak Tania, berharap gadis itu mau menatapnya. "Jawab gue, Tan. Apa lo serius sama kata-kata lo barusan?" Ian menyejajarkan posisi wajahnya dengan wajah Tania, membuat pihak gadis membuang wajahnya ke arah lain.
"Ehmm, gue ...." Gugup, Tania dipaksa berpikir keras. "Ya, m-maksud gue ..., gue memang serius mau hubungan kita baik-baik aja. Gue cuma-"
"Bukan, Tan," sela Ian cepat, "bukan tentang itu."
"Tapi, tentang perasaan lo ke gue," tambahnya. Benarkah, gadis itu tidak keberatan? Sungguh, ia tak ingin sampai salah pengertian.
Menuntut penjelasan, Ian butuh kepastian. "Apa lo juga ... punya perasaan yang sama kayak gue?"
"Hem? Nggak, kok," balas Tania pelan, berharap Ian berhenti mengamatinya dari jarak yang cukup dekat.
"Kalau gitu, kenapa sekarang lo nggak mau natap gue?" Ian bertanya lagi.
Bagus sekali, Tania tak dapat berkutik! Berusaha tenang, ia mengembuskan napas pelan setelah mengumpulkan segenap keberanian. Menantang dirinya sendiri, gadis itu perlahan menengadahkan wajah guna menatap sang lawan bicara. "I-ini sekarang gue lagi natap lo." Namun, entah sejak kapan, Tania mendadak tidak kuat menelusuri jauh ke dalam bola mata itu. Tak heran, ia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Takut terjerat jika masuk terlalu jauh, mungkin?
Tak ayal, Ian tersenyum tipis mendapati reaksi Tania tersebut. Tidak tahukah sang gadis bahwa kontak mata yang terjadi selama tiga detik saja sudah cukup baginya untuk menyimpulkan sesuatu? Spontan, sang lelaki melebarkan jarak di antara mereka, menggaruk tengkuknya yang tidak gantal, membuang wajahnya ke arah lain, lantas berucap pelan. "Kalau gitu ..., lo mau jadi pacar gue, kan?"
Deg. Astaga, apa itu barusan? Ini benar-benar gila! Jantungnya tidak sehat, terbukti dari frekuensi detakannya yang meningkat dua kali lipat. Apakah Ian baru saja menembaknya? Sungguh mendadak sekali! Belum lagi, sang lelaki sama sekali tak menggunakan pengantar.
Dengan ragu, Tania memberanikan diri menatap Ian. Baiklah, awalnya ia mengira bahwa tampang serius sang lelakilah yang akan tersaji di depannya. Namun, tak disangka, ternyata pemilik nama lengkap Drian Alaskar tersebut malah terlihat tidak tenang sekarang. Terbukti, Ian memasukkan kedua tangannya ke saku celana, mengentakkan kakinya pelan, bersenandung guna menemani suara angin, bahkan berpura-pura melihat sekeliling padahal ada Tania di hadapannya.