🪐 40 • Sepatu Cadangan? 🪐

64 12 0
                                    

Hampir seluruh manusia bergaun di pesta itu berteriak histeris karena melihat sang pangeran kampus yang tampak seksi dengan rambut basahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir seluruh manusia bergaun di pesta itu berteriak histeris karena melihat sang pangeran kampus yang tampak seksi dengan rambut basahnya. Ah, sial, tak ada yang lebih baik dari menyaksikan Ian menyugar rambut, menyingkirkan butiran air—yang berasal dari beberapa helaiannya—agar berhenti mengenai wajah.

"Aduh, panas-dingin, Guys! Tolong, gue nggak bisa kalau dikasih yang kayak begini, nih. Melemahkan iman, tau nggak?!"

"Lagi, dong! Lagi, lagi, lagi! Mau sampe seratus kali juga nggak papa."

Bahaya, beberapa gadis malah terang-terangan menunjukkan bahwa mereka ketagihan. Memangnya ini pertunjukan? Di sisi lain, Tania yang menyaksikan dari bagian sisi pun memasang raut harap-harap cemas. Astaga, mengapa jadi lelaki itu yang harus menanggung konsekuensinya?

"Oke, udah, cukup, ya!" ucap sang pembawa acara, sekaligus menghentikan permainan. Tak heran, kata 'yah' sebagai ungkapan kekecewaan terdengar serempak dari jejeran gadis yang sudah menanti reka adegan. Ya, mau bagaimana lagi? Seru juga harus tahu batas, pikirnya.

"Kasih tepuk tangan dulu, dong, buat mereka!" pinta lelaki pemegang mikrofon tersebut sebagai bentuk apresiasi atas tindakan langkanya yang berhasil menghidupkan suasana.

Prok, prok, prok. Meskipun permintaannya tak terkabul, para dara cantik tetap menghargai 'tontonan' yang tersaji di depan mereka barusan, bahkan Teresa sebagai pemilik acara pun turut menyumbangkan tepuk tangannya. Duduk di kursi khusus yang dapat menjangkau semua area, gadis yang tampil bak putri kerajaan itu bisa menyaksikan segala kejadian dengan jelas.

Jujur saja, Teresa sempat tercengang ketika melihat tindakan Ian beberapa saat lalu. Namun, setelah memperhatikan beberapa aspek secara rinci, ia berhasil menyusun sebuah dugaan sementara. Tersenyum penuh arti, Teresa memandang ke arah sang lelaki yang sedari tadi banyak mengundang perhatian. Sekarang ..., gue ngerti, Ian, ucapnya dalam hati.

"Oke, terima kasih!" Seraya memandang sosok lelaki yang sudah keluar dari kotak es, sang pemandu acara memutuskan bersuara. "Dipersilakan untuk kembali ke tempatnya."

Mendengar arahan yang mengizinkannya untuk turun panggung, Ian memilih menghampiri Tania terlebih dahulu. Tertawa pelan, ia melihat Tania yang masih belum beranjak dari sana. "Ini mau diem kayak gini terus?"

"Hem?" Tania belum paham.

Tersenyum geli, Ian lekas menyampaikan maksudnya. "Ayo, turun."

Tersadar bahwa dirinya masih menjadi pusat perhatian, Tania dengan cepat menjawab. "Oh, iya, iya, ayo, Ian." Mendahului Ian, gadis itu tergesa-gesa menuruni panggung, membiarkan sang lelaki berjalan santai di belakang sambil menggeleng pelan karena gemas sendiri melihat perlakuannya. Dasar, sepatunya ketinggalan aja dia nggak sadar, batinnya. Beruntung, Ian sempat mengambil sepasang alas kaki  berwarna tosca yang 'menganggur' itu.

Setelah keduanya bergabung kembali bersama para tamu undangan lain untuk menyaksikan kelanjutan acara, Tania baru ingat bahwa kakinya tak terbalut oleh apa pun. "Eh, ya, ampun, kayaknya sepatu gue masih di depan, deh." Berjinjit untuk melihat keberadaan sepatunya, Tania merasa heran karena tak menemukan benda yang dicarinya. Yah, kok, nggak ada? batinnya.

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang