🪐 56 • Manajemen Risiko 🪐

51 3 0
                                    

UTS atau Ujian Tengah Semester yang semula menggentayangi pikiran mahasiswa akhirnya tiba juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

UTS atau Ujian Tengah Semester yang semula menggentayangi pikiran mahasiswa akhirnya tiba juga. Selama dua minggu ke depan, Universitas Hariku akan dipenuhi dengan banyaknya orang yang mengenakan pakaian hitam-putih, seperti sekarang. Ya, hari pertama menjalankan tes tertulis memang cukup menegangkan. Ibarat kata permulaan, semua peserta  pasti ingin melakukan yang terbaik. 'Baru juga matkul pertama, masa udah nggak bisa?', kalau kata orang.

Sama halnya dengan peserta lain, Ian juga sudah menyiapkan diri secara matang, baik dari segi fisik, pikiran, maupun mental. Dari total sembilan mata kuliah yang diujikan, lelaki itu wajib mendapatkan nilai terbaik, seperti keinginan sang ayah. Hanya saja, berbeda dengan semester sebelumnya, meskipun Ian berada dalam keadaan tertekan, tetapi sedikit-banyak ia bersyukur karena mempunyai partner yang suportif.

"Salah. Yang bener itu risiko fundamental," Tania mengoreksi.

"Oh, iya, ya, ampun!" Ian menepuk dahinya, geram akan daya ingatnya yang dangkal. Padahal, sudah berulang kali ia membaca kalimat itu.

Beralih memijat pelipis, Ian spontan mengeluh. "Aduh, kepala rasanya udah mau meledak. Nggak bisa, Tan, udah nggak masuk ke otak."

Mengambil alih buku yang semula dipegang Tania, Ian kembali merapalkan materi terkait macam-macam risiko yang berpeluang muncul di soal nanti. Jangan heran, faktanya ia memang agak lemah di hafalan. "Oke, risiko murni, spekulatif, fundamental, khusus, dinamis."

Memejamkan mata, Ian lekas mengulang kembali kata-kata yang disebutkannya tadi. "Murni, spekulatif, fundamental, khusus, dinamis. Murni, sprekulatif, eh, spekulatif, ya? Aduh, terus habis itu apa, sih?" Gagal lagi, Ian kembali membuka buku untuk memastikan. "Oh, iya, fundamental," gumamnya. Spontan, ia menempelkan buku yang masih terbuka itu ke arah wajah.

Ah, inilah yang dibencinya dari hafalan. Mutlak, sekali salah, tetap salah. Berniat menajamkan daya ingatnya lagi, Ian hendak mengulangi perkataan yang sama jika saja ia tak mendengar suara tawa dari sebelahnya. Menunggu penjelasan, Ian sengaja enggan angkat bicara lebih dahulu.

"Kamu, tuh, lucu, ya. Hafalin materi aja sampe setengah mati, gitu," komentar Tania. Tidak ada balasan, tetapi yang jelas, suasana hati Ian agak tertolong akibat suara tawa kecil yang terdengar indah itu.

"Ehmm, sekarang coba kamu hafalin ini, deh." Bermaksud membantu, Tania  menawarkan alternatif lain. "Murni cari cowok spek mental baja yang punya keterampilan khusus dan nggak bau amis."

"Hah?" Ian refleks memundurkan wajah sambil tersenyum geli, lantas menatap Tania bingung. "Astaga, buat apa aku hafalin itu?"

"Ya, coba aja ikutin dulu," bujuk Tania, tersenyum meyakinkan.

Baiklah, meskipun terdengar konyol, tetapi Ian tetap menurutinya. "Oke ..., Murni cari cowok spek mental baja yang punya keterampilan khusus dan nggak bau amis." Hebat sekali, pengucapan yang benar, lengkap, dan tepat tanpa tersendat-sendat!

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang