🪐 28 • Titik Kumpul 🪐

75 12 0
                                    

Rumah tingkat dua berwarna gading yang dilengkapi pagar hitam bermotif floral kini menjadi titik kumpul sejumlah mahasiswa yang hendak menyalurkan jiwa fantasinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah tingkat dua berwarna gading yang dilengkapi pagar hitam bermotif floral kini menjadi titik kumpul sejumlah mahasiswa yang hendak menyalurkan jiwa fantasinya. Salah satu tamu lebih dahulu hadir sebelum waktu yang ditetapkan, tentu saja sang tuan rumah harus segera menyambut.

"Cepet banget lo nyampe, Bob," komentar Ian seraya menuruni tangga, "pasti ngebut lagi, kan?"

"Ya, nggak, lah. Hari ini, kan, gue free, Bro, nggak ke kampus. Bosen gue di rumah." Tak ayal, Bobi langsung membantah. "Lagian, nih, ya, kalau gue sampe ketauan ngebut, bisa-bisa motor gue disita lagi sama mak gue, tau nggak lo?"

Membayangkan kejadian tahun lalu, Ian refleks terkekeh. "Iya, iya, gue inget, kok. Gara-gara lo ngebut di jalanan, motor lo disita, terus ... ujung-ujungnya lo selalu numpang motor gue."

Serasa diingatkan kembali, Bobi spontan mengomel. "Sehari, dua hari, sih, nggak papa, Ian. Tapi, ini TIGA BULAN, woi! Mak gue, sih, sadis bener, ya. Gue sampe dikatain cowok cupu gara-gara dikira nggak bisa naik motor. Sumpah, dah, hancur harga diri gue selama setengah semester! Padahal, lo juga tau, kan, kemampuan motor gue, tuh, sebelas-dua belas sama Marc Marquez."

Memang benar, setiap kali 'tancap gas', kecepatan motor Bobi selalu di atas standar. Jangan heran, lelaki itu kegilaan MotoGP. Namun, semenjak mendapat hukuman dari sang ibu, Bobi terpaksa mulai mengurangi kebiasaannya tersebut.

"Ya, udah, lah, syukuri aja—"

"HUOOO, SYUKURI APA YANG ADA ... HIDUP ADALAH ANUG'RAH!" Bobi iseng menyela ucapan Ian, mengepalkan tangannya di depan mulut—seolah-olah ada mikrofon di genggamannya—sambil menyanyikan sepenggal lirik lagu Jangan Menyerah dengan nada sumbang.

Tak ayal, Ian menatapnya malas. Sahabatnya yang satu ini memang tak bisa diajak serius. "Gue serius, Kadal, itu artinya ... mak lo masih peduli sama lo." Raut wajahnya berubah masam, dalam hati ia membandingkan perbedaan perlakuan orang tuanya dengan orang tua Bobi.

Setelah dipikir-pikir, kondisi mereka sangatlah berbanding terbalik. Jika Bobi lebih banyak dibatasi soal tingkah laku, pola makan, jam istirahat, dan semacamnya, maka berbeda dengan Ian yang dibiarkan bebas berbuat sesuatu selama tak menurunkan derajat keluarga. Akan tetapi, sebagai gantinya, Ian dituntut dari segala sisi, baik dari pendidikan, pekerjaan, bahkan pencapaian. Ibarat kata, ada target yang harus dilampaui. Sayang sekali, Ian tak bisa memilih di lingkungan mana ia akan dilahirkan.

"Woi, Guys!" pekik Bima yang tiba-tiba datang bersama dengan Sofi, memecah lamunan Ian.

"Buset, lagi pada ngomongin apa, nih? Mukanya pada serius-serius banget," sambungnya.

Tidak mau ada interogasi berkepanjangan, Ian lekas menimpali tamunya yang baru datang itu. "Kepo aja lo, Naga Buntung!"

"Astagadragon, ini tuan rumah bener-bener, ya! Tamunya baru dateng udah langsung dibikin emosi, sampe pake rahasia-rahasia segala. Dasar buaya darat!" ejek Bima.

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang