🪐 60 • Bujukan 🪐

41 3 0
                                    

Tangannya masih saja ditarik, Tania spontan bertanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangannya masih saja ditarik, Tania spontan bertanya. "Eh, bentar, Ian. Ini sebenernya kita mau ke mana, sih? Kayaknya, buru-buru banget." Bukan apa-apa, masalahnya sedari tadi lelaki itu seolah-olah melangkah tanpa tujuan. Dan, sekarang? Entah bagaimana, mereka berakhir di basement yang dipenuhi oleh banyaknya kendaraan roda empat.

Baiklah, mustahil jika Ian ingin pulang lebih awal, sementara sahabatnya yang lain masih di sini, kan? Faktanya, ia dan Tania memang menumpang mobil Bima untuk sampai ke lokasi. Masa iya kekasihnya itu berniat meninggalkan mal ini tanpa alasan? Lagi pula, Ian tak memegang kunci mobil. Jadi, lelaki itu tak mungkin bisa membawa kabur mobil Bima tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Mengamati Ian yang sama sekali tak berniat membalas ucapannya, Tania sengaja mendekatkan wajah guna meneliti lebih jauh terkait ekspresi sang kekasih. Dan, di luar dugaan, ternyata Ian spontan memalingkan wajah, seolah-olah tak ingin pandangan mereka bertemu. Terbukti, setiap kali Tania berpindah ke sisi lain yang terjangkau oleh penglihatan Ian, lelaki berambut messy itu kontan mengalihkan pandangan.

Cukup lama Tania memperhatikan Ian, sampai akhirnya ia mulai mengendus sesuatu. "Kamu ... ngambek." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.

Masih belum ada tanggapan, Tania kembali angkat bicara. "Aku bikin salah sama kamu, ya?"

"Nggak," balas Ian singkat, masih enggan menatap Tania.

Tersenyum kecil, Tania lekas menimpali. "Bohong."

"Kalau aku memang bikin salah, aku minta maaf, Ian. Coba kamu kasih tau apa kesalahan aku, biar aku juga ngerti. Kalau kamu diem kayak gini, aku nggak tau harus gimana," lanjutnya mengungkapkan.

Ah, sebenarnya, hanya dengan ucapan tulus seperti ini saja Ian sudah luluh. Namun, ia tak ingin menyudahi acara marahnya semudah itu. Masih tertarik menjaili sang gadis, Ian sengaja berdeham, lantas memasang raut kesal. "Kalau kamu ngerasa kayak gitu, coba kamu bujuk aku biar nggak ngambek lagi."

"Ehmm, jadi sekarang kamu mau aku kayak gimana?" Tania berucap ragu. "Aku harus apa?"

"Kamu harus bilang kalau kamu cinta sama aku," balas Ian, masih tetap mempertahankan wajah datarnya.

"Hah?" Tania melihat sekeliling. "Di sini? Sekarang?"

Tak ada jawaban dari Ian, gadis itu terpaksa kembali bersuara. "T-tapi, aku malu, Ian."

"Ya, nggak papa juga, sih, kalau kamu nggak mau. Aku nggak maksa juga, kok," balas Ian, seakan-akan memberi kode jika Tania tak mau melakukannya, maka ia akan tetap berada dalam mode marahnya.

Menimbang-nimbang sejenak, Tania refleks menghela napas ketika sebuah keputusan sudah berada di tangan. "Ya, udah, oke." Dengan berat hati, sang gadis mengiakan.

"Tatap aku," pinta Ian seraya memegang bahu Tania, mengarahkan sang kekasih untuk menghadapnya.

Tersentak, Tania yang baru saja hendak membuka mulut seketika melebarkan matanya. Rasanya tadi tidak ada peraturan seperti itu. "Eh? Tadi, kan, k-kamu nggak bilang aku harus natap kamu."

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang