Ian melempar tubuhnya ke kasur dengan posisi telentang, agak lama memandangi langit-langit kamarnya. Semenjak acara pesta ulang tahun Teresa dinyatakan usai, lelaki itu terus berpikir keras. Entahlah, rasanya sulit sekali mengenyahkan kejadian tadi dari kepala. Sebaliknya, justru Ian mengingat jelas setiap kata yang terlontar dari mulut Tania, spontan membayangkan ulang momen gadis itu membelanya di hadapan lelaki lain.
"Kalau gue suka sama Ian memangnya kenapa?"
"Iya, gampang banget ..., gampang banget buat gue nentuin pilihan. Asal lo tau, Ian memang orang kaya, tapi dia nggak pernah memandang rendah gue kayak apa yang lo lakuin sekarang. Inget, omongan lo mencerminkan kualitas diri lo dan itu terbukti, kok.
Lo bilang Ian itu berengsek ..., tapi harusnya lo sadar kalau lo jauh lebih berengsek dari dia."Ian tidak menampik, ada percikan kebahagiaan dalam hatinya. Namun, bersamaan dengan itu pula, Ian menyadari bahwa dirinya telah berharap lebih pada Tania. Astaga, lo mikir apa, sih, Ian? batinnya. Entah sejak kapan, perasaannya bertambah makin besar.
Dibilang suka? Iya! Dengan lantang, Ian berani menyatakan bahwa dirinya menyukai Tania. Sayangnya, semua hal tak semudah itu untuk disimpulkan. Memang benar, ia menaruh rasa pada Tania. Akan tetapi, apakah rasa yang ia miliki ini adalah rasa yang sesungguhnya? Tanpa ada motif apa pun? Atau, justru sebenarnya perasaan yang ia miliki ini hanyalah efek dari kekaguman semata? Entahlah, Ian sama sekali tak memiliki kunci jawaban yang tepat atas segala pertanyaan tersebut.
Perasaan yang ia miliki sekarang layaknya pisau bermata dua. Kalau ternyata Ian tidak benar-benar menyukai Tania, maka ia bisa saja menyakiti gadis itu. Dan, sebaliknya, kalau ternyata Ian sungguh menyukai Tania, maka ia sendiri yang bisa saja terancam disakiti karena menurut pengalamannya, berada di tahap sangat menyayangi pasangan tidak akan menjamin bahwa sosok yang disukai tak akan pergi meninggalkannya.
Maju ataupun mundur, hasilnya akan sama-sama menyakitkan. Tania terlalu baik dan ia sama sekali tak ingin menyakiti gadis itu. Akan tetapi, Ian juga tak ingin mendapatkan luka baru, di saat luka lamanya sendiri belum bisa dikatakan pulih. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengubur perasaannya.
Memilih keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak akan jauh lebih baik dan satu-satunya cara adalah dengan membekukan hati. Ya, untuk sementara, biarkan perasaannya berada dalam keadaan statis, yakni tidak luntur, tetapi tidak juga bertumbuh.
Ian sadar betul bahwa menghilangkan perasaannya pada Tania secara penuh adalah hal yang mustahil dilakukan dalam sekali kedip. Jadi, lelaki itu berniat memulai tekadnya dari cara yang paling mudah dan yang bisa ia lakukan terlebih dahulu sebelum perasaannya pada Tania kelak akan benar-benar MATI. Maafin gue, Tania, ucapnya dalam hati.
Dan, benar saja, berbekal keputusan yang hanya dipikirkan dalam semalam, keesokan harinya, Ian langsung bertindak sesuai rencana. Terbukti, pada saat berpapasan dengan Tania, ia menantang dirinya sendiri untuk mengabaikan sang gadis meski rasanya seperti membawa beban sebanyak ribuan ton. Apalagi, di kala Tania menyambutnya dengan senyuman sehangat mentari.
"Ian," sapa Tania dengan raut semringah, "ini jaket lo yang kemaren."
"Makasih, ya," sambungnya.
Sadar, Ian, inget sama tujuan lo sekarang ..., tunjukin kalau lo bisa ngalahin ego lo sendiri, tekadnya dalam hati. Berusaha menahan diri, Ian lekas mengambil jaket putih yang disodorkan Tania tanpa mengucap sepatah kata pun, lantas melewatinya begitu saja seolah-olah sang gadis adalah orang asing.
Tak ayal, Ian menghela napas lega setelah lolos dari rintangan pertama. Setelah memasuki Ruang Nyamuk, seperti biasa Ian akan menduduki area pojok sebagai tempat favoritnya sembari menikmati secangkir teh hangat, berharap mendapatkan ketenangan walaupun di tengah suasana ramai. Namun, sayang, Ian dilarang cepat puas karena Tania tiba-tiba muncul, lalu mengambil posisi duduk di depannya. Yang benar saja, Ian nyaris menyemburkan teh—yang masih berada dalam mulut—saking kagetnya!
Hening mulai mendominasi, Ian harus mencari cara agar ia dan Tania tidak sering bertemu. Tak lupa, lelaki itu berusaha konsisten menjaga ekspresi wajahnya yang datar. Jangan sampai Tania mendeteksi keramahan darinya. Niatnya memang untuk membuat jarak di antara mereka, kan? Jadi, Ian harus sanggup melakukannya. Huh, ternyata nggak sia-sia tadi gue pesen teh. Lumayan, buat properti, batinnya. Berkat kegiatan minum tersebut, Ian punya waktu untuk berpikir sekaligus berakting.
"Lain kali, lo nggak usah dateng ke sini lagi." Secara tidak langsung, Ian mencoba mengusir Tania secara halus.
"Eh? Kenapa?" tanya Tania bingung.
"Ya ..., gue rasa nggak perlu, lah, lo maksain diri buat dateng ke tempat yang nggak lo suka. Buat apa?" Ian melirik Tania sambil berpura-pura menyesap teh.
Tak ayal, raut wajah Tania sontak berubah. "Ehmm ..., gue nggak terpaksa, kok, Ian," ucapnya pelan.
Tanpa disadari, Ian mengepalkan tangannya di bawah meja. Ya, ampun ..., maafin gue, ya, Tan, gue nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Tapi, kita memang nggak boleh terlalu sering ketemu. Jadi ..., untuk kali ini, tolong bantu gue, ya, Tan ..., bantu gue buat ngehapus rasa ini, batinnya.
Dengan berat hati, Ian spontan mengucapkan kalimat yang menunjukkan ketidakpeduliannya. "Awalnya, kan, gue yang minta lo buat sering mampir ke sini. Tapi ..., setelah gue pikir-pikir, percuma juga kalau terpaksa, kan? Jadi, setelah ini, lo bebas. Gue nggak akan maksa lo lagi." Setelahnya, Ian bergegas pergi karena ditakutkan Tania berhasil membuatnya luluh.
Tak terasa, satu minggu telah berlalu dan ternyata Tania benar-benar menuruti ucapannya untuk menghindari kawasan Ruang Nyamuk. Ah, haruskah Ian menyesal sekarang? Masalahnya, keberadaan gadis itu sangat mempengaruhi suasana hatinya. Hingga di titik suntuk, pada akhirnya Ian menyerah juga. Persetan dengan apa pun yang akan terjadi nanti, yang penting ia ingin melihat Tania.
Mengikuti kehendaknya sendiri, diam-diam—dari kejauhan—Ian mengamati Tania yang sepertinya baru saja bubar kelas. Tanpa harus berbincang dengan sang gadis, ia refleks menerbitkan senyum, cukup hanya karena melihatnya berjalan santai sambil membenahi salah satu tali totebag-nya yang melorot.
Namun, sayang, kesenangan tersebut tak berlangsung lama, mengingat Tania yang mendadak memegangi kepalanya. Tak heran, lengkungan manis di bibir Ian seketika sirna. Tania, batinnya cemas. Baru saja hendak melangkah, tetapi Ian keburu mengingat tekadnya untuk menghindari gadis itu. Nggak, Ian! Stop, lo nggak boleh lemah cuma karena ini. Tania nggak papa, kok. Memang lo aja yang terlalu lebay, ucapnya meyakinkan diri dalam hati.
Nahas, tepat pada saat Tania hendak tumbang, Ian sontak melebarkan mata. "Sial," gumamnya. Tanpa pikir panjang, Ian lekas berlari, hendak menolong Tania jika saja tidak ada seorang lelaki dengan topi terbalik andalannya yang terlebih dahulu membuat gerakan. Ah, beruntung sekali, Bobi datang di saat yang tepat, sehingga Ian tak perlu menampakkan diri. Cukup, Ian, lo nggak boleh peduliin Tania. Anggap aja di depan lo, tuh, nggak ada apa-apa. Lagi pula, udah ada Bobi juga di sana, jadi lo nggak perlu nolongin dia, batinnya.
Apakah Ian akan kuat sampe perasaannya benar-benar hilang?🤭
Jangan lupa vote dan komen, guys!❤️
Dipublikasikan : 19 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...