🪐 74 • Harus Siap 🪐

41 4 0
                                    

Sebuah tangan mendarat di bahunya, Ian yang semula tercenung tertarik untuk mendongak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah tangan mendarat di bahunya, Ian yang semula tercenung tertarik untuk mendongak. Tania, gadis itu tiba-tiba duduk di sebelahnya, memberikan senyuman kecil sebagai penguat. Tatapan mereka sempat bersirobok beberapa saat sebelum Ian kembali memandang lurus ke depan seraya mengembuskan napas berat.

"Kamu ... nggak papa?" tanya Tania ragu.

Tersenyum kecut, Ian berusaha mengutarakan perasaannya saat ini. "Apanya yang nggak papa, Tan? Dia tiba-tiba dateng dan ngebuat semuanya jadi rumit. Aku bingung banget ..., aku nggak tau harus ngomong apa lagi."

Hening sejenak, Tania menengadah, mengamati langit-langit gedung FEB. Begitu mendengar kabar dari Bima dan Bobi bahwa Ian sedang berada di koridor yang dekat dengan tangga menuju lantai dua, ia lekas menghampiri sang kekasih setelah sebelumnya pergi begitu saja tanpa berpamitan.

Jangan salah, Tania pergi bukan karena marah, tetapi karena ia ingin memberikan ruang bagi Ian dan Clara untuk bicara. Menyadari jika keduanya butuh waktu, gadis itu tak ingin mengganggu, apalagi mencampuri urusan mereka.

"Kamu mau cerita sama aku?" tawar Tania, tersenyum menenangkan.

Cukup lama Ian menatap Tania, sampai akhirnya lelaki itu mengangguk pelan.
"Ini semua salah aku, Tan. Aku malah nuduh dia yang nggak-nggak. Clara sempet kecelakaan, bahkan dia sampe koma dan aku ... a-aku sama sekali nggak tau soal itu. Aku nggak ada di sana, Tan, aku nggak ada di saat dia butuh aku. Tapi, dengan bodohnya aku malah mikir dia selingkuh." Dari awal hingga tuntas, Ian menceritakan semua yang dikatakan Clara tadi pada Tania.

"Jadi ..., Clara punya saudara kembar?" tanya Tania memastikan. Gadis itu agak terkejut dengan fakta yang dibeberkan.

Ian mengangguk pelan. "Sekarang, semuanya jadi masuk akal, tapi ... kenapa rasanya berat banget, ya? Aku bingung, aku harus gimana? Apa yang harus aku lakuin, Tan? Apa aku boleh lari dari kenyataan? Rasanya aku mau menghilang dari dunia ini."

Tania menghela napas, lantas menggeleng. "Kalau aku jadi kamu, aku juga nggak tau harus berbuat apa." Beralih mengusap punggung rapuh itu, Tania berusaha memberikan pengertian. "Tapi, kamu harus bisa hadapin kenyataan apa pun, Ian. Kalau kenyataan itu terlalu pahit buat kamu terima ..., aku selalu di sini. Aku akan selalu nemenin kamu sampai kamu bisa nerima dan menghadapi kenyataan itu."

"Kalau kamu ngerasa bersalah sama dia, mungkin kamu bisa mulai dengan kata 'maaf'. Setidaknya, itu bakal bikin kamu sedikit lebih lega," lanjutnya, memberi saran.

Ian menatap Tania dengan tatapan yang sulit diartikan. Ah, berbincang dengan Tania memang selalu memberikan ketenangan batin tersendiri. "Makasih, ya, Tan." Ian tersenyum lemah. "Makasih karena kamu selalu ngertiin aku."

Ian mendekap Tania, memejamkan mata kala gadis itu kembali mengusap punggungnya. Entah energi apa yang dimiliki oleh sang kekasih, hingga setiap kali Ian merasa tenang ketika berada di dekatnya. Tanpa disadari, gadis yang kini menjadi obat penenang baginya itu justru merasa cemas.

Ya, Tania larut dalam ketidakpastian. Apa kamu masih punya perasaan sama Clara, Ian? Kalau memang iya, itu artinya aku juga harus siap nerima kenyataan. Aku harus siap nerima kalau ternyata ... kamu masih cinta sama Clara, batinnya. Tak ada yang bisa menjamin bahwa nama Clara sudah sepenuhnya terhapus dari hati Ian, kan?

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang