"Ian, buka pintunya! Papa ingin bicara! Keluar sekarang!" bentak Herman.
Praang, praang, praang! Suara barang pecah terdengar nyaring dari dalam kamar Ian, Giovano dan Liana hanya mampu menatap waswas pintu tak bersalah yang membatasi mereka dengan sang putra.
"Pergi! Ian nggak mau ngeliat siapa pun!"
Usaha suaminya tak membuahkan hasil, Liana pun turun tangan. "Ian, ini Mama, Nak. Biarkan Mama masuk, ya. Jangan kayak gini, Nak. Buka pintunya, ayo kita bicara baik-baik."
"Pergi, Ma, Ian nggak mau ketemu sama siapa pun. Tolong, kasih waktu Ian buat sendiri," balas Ian yang kali ini menurunkan nada suaranya.
Praang, praang! Suara barang pecah kembali memasuki pendengaran, Liana mendadak panik bercampur cemas. "Suamiku, bagaimana ini? Ian tidak mau keluar dari kamarnya. Bagaimana jika terjadi sesuatu sama dia?"
Baru saja Giovano hendak bersuara jika tak ada suara lain yang mendahului. "Maaf, Om, Tante, tapi apa boleh kalau ... Tania izin masuk ke dalem?" Ya, Tania menawarkan diri untuk berbicara dengan Ian. Tentu saja, pada awalnya Giovano dengan keras menolak. Berani sekali orang asing ikut campur, pikirnya. Namun, ketika Liana meyakinkan bahwa Tania bisa membujuk Ian, akhirnya izin pun berhasil dikantongi oleh gadis itu.
Setelah Giovano dan Liana sengaja menyingkir agar ia lebih leluasa berbicara dengan putra mereka, perlahan Tania melangkah mendekati pintu kamar Ian. Ah, jangan pikir Tania tak mendengar bantingan barang berulang kali dari dalam sana. Beralih menempelkan telapak tangannya ke pintu, ia menarik napas sejenak sebelum mengeluarkan suara. "Ian."
Senyap, suara bising yang sedari tadi bersambut pun mendadak hilang. Meskipun tak tahu apa yang terjadi di dalam, Tania tetap berusaha mengajak Ian berbicara. "Ini aku ..., Tania. Sekarang kamu keluar dari kamar kamu, ya. Semua orang khawatir sama kamu."
"Pergi, Tan! Nggak ada yang peduli sama aku di sini! Jadi, stop! Aku nggak butuh dikasihani sama kalian semua!"
Tania menggeleng pelan, tak membenarkan ucapan Ian dalam hati. "Oke, kamu boleh beranggapan kalau yang lain nggak peduli sama kamu. Tapi, aku peduli, Ian. Aku khawatir sama kamu. Please ... buka pintunya, ya. Aku mau liat keadaan kamu."
Di luar dugaan, tiba-tiba Ian membuka pintu, lantas dengan cepat menarik Tania ke dalam kamarnya. Ah, baru saja Giovano hendak menyusul masuk jika putranya tak langsung mengunci akses seperti semula. Tak heran, pria itu sontak menggedor pintu, memberikan serentetan kecaman.
Sayang sekali, Ian tak berniat menyahut. Dan, selepas mendengar derap langkah kaki yang menjauh, Ian kembali berbuat ulah. Praang! Dilemparnya patung keramik yang berada dalam jangkauan, membuat Tania menunduk takut, memejamkan mata seraya menutup kedua telinganya. Krak! Tak berhenti sampai di sana, lelaki itu beralih meninju cermin besar, menyalurkan emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...