🪐 49 • Maaf 🪐

54 5 0
                                    

"Ian, sebenernya udah dari kemaren gue mau ngomong sama lo," Tania membuka obrolan, "tapi lo selalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ian, sebenernya udah dari kemaren gue mau ngomong sama lo," Tania membuka obrolan, "tapi lo selalu ... menghindar."

Faktanya, dua minggu belakangan ini, Ian acap kali melengos ketika bertemu dengan Tania, baik secara disengaja maupun tak disengaja. Dan, kalaupun keadaan memaksa mereka untuk berjumpa, maka pihak lelaki tak akan segan untuk mengabaikan pihak gadisnya. Entahlah, Ian terkesan tak mengharapkan kehadiran Tania, persis dengan respons lelaki itu sekarang.

Melihat Ian yang tampak enggan memandangnya—membuang wajah ke arah lain—untuk yang ke sekian kalinya, Tania tersenyum masam. Tak ingin memperkeruh suasana, sebaiknya ia lekas mengatakan semua hal yang mengganjal di hati. "Gue nggak akan nanya alesan kenapa lo bersikap kayak gini, tapi yang jelas gue cuma mau bilang ... maaf."

"Maaf, kalau gue pernah menyinggung perasaan lo. Maaf, kalau gue sempet bikin lo risi. Maaf, kalau gue banyak banget ngerepotin," tutur sang gadis, tersenyum tulus.

"Jujur ..., gue sama sekali nggak ada niatan buat bikin lo marah ..., kesel ..., atau apa pun itu. Jadi, kalau gue punya salah sama lo ..., gue minta maaf, ya," lanjutnya.

Menilik Ian yang belum juga bereaksi, Tania refleks memelankan suara— dengan tetap mempertahankan lengkungan manis di bibirnya—karena ditakutkan perkataannya kali ini malah menyinggung sang lawan bicara. "Dan ..., seandainya lo memang nggak mau temenan lagi sama gue juga nggak papa, kok. Serius, gue nggak masalah. Setelah lo kenal sama gue, mungkin ada sifat-sifat gue yang nggak bisa lo terima, misalnya kayak gue yang terlalu ngebosenin, kurang tanggap kalau diajak ngomong, atau mungkin ... gue yang terlalu cuek dan ..., ya, gue bener-bener minta maaf atas semua itu."

"Gue memang nggak bisa jadi sahabat yang memenuhi ekspektasi lo, tapi ... gue pribadi seneng banget, kok, bisa temenan sama lo. Pokoknya ..., jangan pernah mikir kalau gue sengaja nyari musuh, ya. Beneran, deh, gue nggak pernah mau cari masalah." Tania menjelaskan. "Tapi, dengan ini, gue berharap ... semoga di antara kita udah nggak ada masalah lagi, ya. Gue juga nggak akan maksain keadaan supaya kita bisa jadi temen lagi, kok, tapi yang penting nggak ada ribut-ribut aja."

Syukurlah, rasanya sedikit plong ketika Tania berhasil mengungkapkan sebagian bahan pikirannya. Sejauh ini, belum ada tanggapan negatif, sehingga gadis itu berani untuk kembali menaikkan volume bicaranya dalam batas normal. "Ya, gue ngerasa nggak enak kalau gue pernah bikin salah sama lo. Jadi, sekali lagi, gue minta ma—"

"Ssttt ..., cukup, Tan," Ian menempelkan jari telunjuknya ke bibir Tania, seolah-olah memerintahkan benda kenyal tersebut agar tetap mengatup.

Tatapannya menyendu, Ian sontak berucap lirih. "Jangan bicara lagi, gue mohon ... jangan minta maaf lagi." Rasa bersalah menyergap lelaki itu, lambat laun dinding pertahanannya pun roboh.

Setelah mendapati Tania mengerjap beberapa kali, lantas mengangguk pelan, Ian baru mau menjauhkan jari yang semula berperan sebagai pengunci mulut gadis itu. Memandang Tania lekat-lekat, sang lelaki berniat melepas rindu. Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali ia dan Tania berbicara sedekat ini.

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang