Sementara Bobi sibuk dengan urusannya, dua pasang kekasih yang sedari tadi ikut repot membantu pun memutuskan singgah ke sebuah restoran dalam mal guna mengisi perut yang berteriak lapar. Tak mau bingung, mereka sepakat memilih tempat makan yang baru saja dilewatinya. Kebetulan, pengunjungnya juga tampak ramai. Alhasil, keempatnya tertarik untuk mencoba.
Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, Sofi langsung memberikan komentar. "Kayaknya sejak ada Tania, mood makan lo nambah, ya, Ian?" Faktanya, di antara mereka, Ian adalah orang yang paling malas makan. Namun, akhir-akhir ini, justru lelaki itu yang berinisiatif mengajak makan duluan, contohnya seperti sekarang.
Yang dipanggil tak berniat menanggapi, kini malah Tania yang terpancing bersuara. "Lah? Kok, gara-gara aku, sih, Fi? Jangan berlebihan, deh. Nggak ada hubungannya."
"Ya, jelas ada hubungannya, dong! Gimana bisa mood makan dia nggak nambah kalau setiap hari ada yang merhatiin?" Sofi beralih melirik Ian. "Ya, nggak, Ian?"
Ian mengedikkan bahu sambil menahan senyum, lantas mengalihkan wajahnya ke arah lain. Tak ayal, setelah melihat respons sang lelaki, Tania beralih menatap Sofi, lalu menggeleng pelan. "Kamu, tuh, ada-ada aja, Fi. Nggak ada, lah, yang kayak gitu-gitu." Takut kekasihnya marah, ia sengaja menghentikan pembahasan lebih lanjut soal ini.
Masih menunggu pesanan datang, Bima dan Sofi memilih bermain ABC 5 Dasar demi mengisi waktu, sedangkan Ian tampak lebih tergiur memperhatikan gadis di sebelahnya. Menopang dagu, ia fokus memindai wajah gadisnya yang terlihat sedang memperbaiki gelang. Sepertinya aksesoris tersebut putus, bahkan ada beberapa manik yang tercecer.
Namun, tak sedetik pun arah pandang Ian berpindah. Tersenyum tipis, lelaki itu menikmati semua ekspresi yang dipancarkan Tania, tak ada satu pun yang lolos dari jangkauannya. Raut serius ketika mulai memikirkan cara untuk menyusun maniknya, raut bingung ketika salah merakit gelangnya kembali, dan raut senang ketika berhasil menemukan komposisi yang cocok, rasanya sangat sayang untuk dilewatkan.
Hingga tiba-tiba saja, sebuah ide muncul di kepalanya. Tak ayal, Ian lekas merogoh ponsel dari saku celananya, diam-diam mengarahkannya pada sang gadis. "Tania," panggilnya pelan.
Cekrek. Tepat pada saat Tania menoleh, hal yang tak pernah ia duga pun terjadi. Ya, Ian memotretnya dalam keadaan yang belum siap. "Eh? Jangan difoto, Ian. Hapus, hapus, hapus."
Mengamati hasil jepretannya sejenak, Ian sontak tertawa pelan. Ah, wajah polos itu memang tampak menggemaskan. Beralih mengerling jail ke arah kekasihnya yang terlihat panik, Ian sengaja menolak permintaan sang gadis. "Nggak mau, ah, aku nggak mau hapus."
"Ih, jangan gitu, Ian." Tania masih berusaha membujuk. "Hapus, nggak? Aku malu." Menduga tak ada 'iktikad baik' dari Ian, gadis itu lekas mengulurkan tangan guna meraih ponsel sang kekasih. Berniat merebut, tetapi sebenarnya tak berani.
"Hapus, ya, Ian?" pinta Tania.
"Permisi," sela salah seorang pelayan yang membawa nampan.
Baiklah, Ian cukup beruntung karena pramusaji datang di waktu yang tepat. Namun, selagi lelaki berseragam hitam itu menghidangkan makanan, ia curi-curi kesempatan untuk membisikkan sesuatu pada Tania. "Aku selalu suka sama ekspresi kamu, jadi aku nggak mau hapus. Ini foto langka dan orang yang boleh punya, tuh, cuma aku." Ian tertawa pelan ketika rona menghiasi pipi gadisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Sandaranmu ✔️ [END]
RomanceSiapa yang tak membenci pengkhianatan? Lima tahun yang berujung duka nyatanya mengundang dendam. Memilih 'terlahir kembali' sebagai playboy, Drian menikmati kesehariannya dalam mencari mangsa. Sampai suatu hari, rasa segan untuk mendekat tiba-tiba m...