🪐 31 • Perkara Mekap 🪐

72 13 0
                                    

Sementara Ian masih menikmati roti kejunya, Tania mengeluarkan sebuah novel dengan sampul berwarna biru muda dari dalam tasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sementara Ian masih menikmati roti kejunya, Tania mengeluarkan sebuah novel dengan sampul berwarna biru muda dari dalam tasnya. Tak ayal, sang lelaki terpancing bersuara. "Widih, udah sampe halaman berapa, tuh?"

Kegiatan membacanya tertunda, Tania mengalihkan pandangannya pada Ian. "Halaman 210." Setelah itu, ia kembali larut dalam dunia imajinasi.

Melihat Tania yang anteng, Ian mendadak ingin berkomentar. "Wah, udah jauh, pasti udah masuk konflik, ya?"

Kegiatannya diinterupsi, Tania kembali mengalihkan pandangannya pada Ian. Gadis itu tersenyum, lantas mengangguk pelan. "Iya, konfliknya itu si cowok sama si ceweknya putus gara-gara orang tuanya nggak setuju sama hubungan mereka. Sampai akhirnya, si cowok ini ngebawa ceweknya kabur ke London karena mereka berdua sama-sama nggak mau pisah. Selesai, deh."

Bagus, perkataan Tania barusan berhasil menghentikan pergerakan Ian yang hendak melahap potongan roti terakhir! Matanya membulat bersamaan dengan mulutnya yang menganga karena niat awalnya memang untuk menghabiskan makanan pemberian Tania sekaligus mendengarkan gadis itu berbicara.

Tak ayal, Ian spontan menjauhkan potongan roti di genggamannya, tidak jadi memasukkannya ke dalam mulut. "Aduh ..., nggak gitu juga, Tan. Jangan spoiler kayak gitu. Gue baru baca sampe halaman 10, loh. Sumpah, gue cuma nanya 'udah sampe konflik atau belum', gue nggak nanya konfliknya apaan. Gue nggak minta lo jelasin juga."

Tak lama kemudian, suara tawa renyah keluar dari mulut sang gadis, meninggalkan sedikit lipatan di dahi Ian. "Tenang, tenang, ceritanya bukan kayak gitu, kok. Gue bercanda, Ian. Aduh, muka lo pasrah banget." Belum bisa berhenti tertawa, Tania lekas menutupi setengah wajahnya—dari bagian hidung hingga dagu—menggunakan novel yang dipegangnya.

Menahan malu, Ian hanya mampu berdeham untuk menanggapinya. Heran, bagaimana bisa citranya hancur dalam sekejap di hadapan Tania? Dan, bodohnya, ia tertipu oleh kejailan yang diperbuat gadis polos itu. Bukan apa-apa, masalahnya sampai saat ini Ian terkenal dengan ketampanan, pesona, dan karisma yang luar biasa. Akan tetapi, mengapa Ian sama sekali tak bisa menunjukkan kelebihannya itu di hadapan Tania?

"Oh, jadi sekarang lo mau main jail-jailan?" Ian tersenyum misterius. "Ayo, sini!" Lelaki itu sudah bersiap menggelitik Tania.

"Eh, jangan!" Di tengah usahanya meredakan tawa, Tania tiba-tiba memasang posisi bertahan karena takut jari-jari menggelikan itu malah 'menyerang'. "Iya, iya, ampun. Nggak lagi, nggak lagi. Kita damai, oke?" Kapok, Tania tidak ingin ketenangannya terancam hanya karena keisengannya tadi.

Sedangkan Ian? Lelaki itu diam-diam mengulum senyumnya ketika mendapati ekspresi kalah Tania. Ah, rasanya ia harus memberikan sang gadis sedikit pelajaran. "Nggak mau," balasnya singkat.

"Eh? Lo marah, Ian?" Tania mendadak panik ketika mendapati respons tak sedap dari lawan bicaranya itu. "Ian?" panggilnya sekali lagi.

Tak kunjung angkat bicara, bahkan menyahut, Tania khawatir Ian benar-benar marah. "Aduh, Ian, maaf, gue nggak bermaksud kayak gitu. Tadi, gue cuma bercanda."

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang