🪐 50 • Noda Lumpur 🪐

56 5 0
                                    

"Clara?" Ian spontan berlari, menerjang tubuh sang gadis, lantas memeluknya erat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Clara?" Ian spontan berlari, menerjang tubuh sang gadis, lantas memeluknya erat. Tak disangka, setelah ditimpa kemalangan, terbitlah keajaiban.

Bagaimana tidak, di tengah usahanya melarikan diri dari para penculik, lelaki itu dipertemukan dengan sang kekasih yang belum lama menghilang. Maklum, banyak kompetitor yang iri melihat kesuksesan orang tuanya, sehingga ia pun harus ikut terkena dampak dari persaingan tidak sehat mereka.

"Kamu ke mana aja? Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu mau pergi, hem? Aku kanget banget sama kamu, Clar," lanjutnya bertanya, tersirat nada kekhawatiran di sana.

Sayangnya, respons yang diterima cukup mengecewakan. "Eh, eh, eh, lepasin gue! Apa-apaan, sih, ini?!" teriak seseorang yang diyakini bernama Clara. Berontak, gadis itu lekas menyingkirkan Ian yang masih saja betah mendekapnya.

Beralih melihat pakaiannya yang ternodai lumpur akibat Ian yang tiba-tiba menempel padanya, ia sontak menganga dengan mata yang terbuka lebar pula. Bayangkan saja, busana berwarna putih bersih kini dihinggapi bercak cokelat di beberapa bagian. "OH, NO ..., MY CLOTHES!"

Menatap Ian geram, gadis itu tak akan sungkan mengomeli si pelaku. "Shit!What have you done, Idiots?"

"Clara, aku-bugh!" Belum sempat Ian menuntaskan ucapan, pipinya sudah terlebih dahulu dihantam oleh sebuah tinjuan keras. Refleks, ia mundur beberapa langkah, memegangi area nyeri tersebut. Ian mengangkat kepala, menatap nyalang ke arah sosok lelaki yang berada di samping Clara. Sungguh licik, orang bertato itu malah menyerang di saat dirinya tidak berada dalam keadaan siap. Sebenarnya, apa yang diinginkannya? Ian sama sekali tak mengenali lelaki itu!

"How dare you touch her! Just so you know, she is my girlfriend, Clarissa. Who is Clara?!" ucap sang lelaki, terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya. Ya, sosok dengan potongan rambut quiff, berewok yang mengelilingi pipi belakang, serta berkumis itu merasa tak terima dengan tindakan Ian barusan. Seenaknya saja orang asing menyentuh kekasihnya! Mana bisa ia terima?

"Apa maksud lo?" Ian menggeleng tak percaya. Amarahnya pun seketika terpancing. "SHE IS MINE, NOT YOURS! So, shup up your mouth, Stupid!" Tak ayal, kegaduhan tersebut mengundang banyak perhatian masyarakat yang berlalu-lalang. Lambat laut, mereka yang punya rasa ingin tahu tinggi pun lekas mengerubungi ketiganya.

Sementara itu, Clarissa mulai menyadari gerak-gerik sang kekasih yang sepertinya hendak menyerang Ian kembali sebagai balasan atas responsnya yang kurang ajar. Tak ingin melihat lelaki di sampingnya membuang tenaga, Clarissa lekas menenangkan. "Matt, it's okay." Menyadari Matthew-kekasihnya-masih betah menatap tajam Ian, ia spontan menawarkan diri untuk turun tangan. "Hey, look at me. Let me handle this, okay?"

Matthew mengedikkan bahu, membuat Clarissa tersenyum kecil. Tidak ada larangan yang keluar dari mulutnya, berarti gadis itu diizinkan untuk meladeni. Tak heran, ia langsung menatap remeh Ian. "Heh, Pengemis! Nggak usah ngaku-ngaku jadi pacar gue, ya! Mana pernah gue punya cowok jelek kayak lo?!" Menyensor penampilan Ian dari atas sampai bawah, Clarissa mendengkus geli. Bagaimana tidak, lumpur dan tanah tampak mendominasi di sana.

Sementara, Ian? Lelaki itu sontak mematung, tak mampu berkata-kata. "Maksud kamu apa? Kamu Clara, pacar aku, kan? Clar, mending kamu jelasin sama orang ini kalau kamu itu pacar ak-"

"STOP IT!" pekik Clarissa.

Plak. Tanpa aba-aba, ia memberikan bekas tangannya ke pipi Ian yang masih mulus. Sekarang jadi impas, kan? Pipi kanan dan kiri sama-sama terkena imbas. "DASAR ORANG GILA! NGACA DULU, SANA! MIMPI AJA LO BISA JADI PACAR GUE!" Kenyataannya, pakaian yang dikenakan Ian saja compang-camping dan secara keseluruhan, lelaki itu terlihat dekil. Jadi, bagaimana mungkin Clarissa bisa terpikat?

Tertawa puas, gadis itu mencolek noda lumpur yang berada di bajunya, lalu sengaja ia oleskan ke wajah Ian. Ibarat kata wajah Ian adalah kanvas, Clarissa sengaja menjadikannya ajang untuk membuat karya seni. Lumayan, dapat media lukis gratis. "Wow ..., how is it, Matt? Is it good enough?" tanyanya pada sang kekasih.

Suara tawa yang tertahan mulai terdengar, para penonton di jalanan makin bertambah karena kerumunan yang terbentuk terlalu menyorot perhatian. Ada yang berbisik senang, ada pula yang sengaja mengabadikan momen tersebut menggunakan kamera ponsel. Sementara, orang yang dipermalukan hanya bisa pasrah.

"Perfect, Babe," puji Matthew sambil menyeringai.

Seolah-olah banyak mendapatkan dukungan, Clarissa makin menjadi-jadi. "Nah, kalau gini, kan, minimal mukanya sedikit tertolong. Ah, tapi jangan deket-deket gue, ya ..., JIJIK soalnya." Ya, anggap saja ini adalah pelajaran karena Ian telah sembarangan menyentuhnya. "Oh, ya, satu hal lagi ..., nama gue itu CLARISSA, bukan Clara. Jangan pernah lagi lo berani macem-macem sama gue."

Tidak mau melepaskan Ian begitu saja, Clarissa ingin menghadiahinya salam perpisahan yang paling berkesan. "Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ya. Tapi, cowok gila ini tadi tiba-tiba dateng dan melecehkan saya. Jadi, sekarang saya serahkan sama kalian, ya ..., terserah mau kalian apakan." Setelah memberikan pesan tersebut, Clarissa menggandeng tangan Matthew, berniat meninggalkan Ian sendirian.

"Clara, tunggu!" pekik Ian. Sayang sekali, Ian telanjur dikepung. Tidak ada jalan keluar, satu per satu orang mulai memukulinya. Bugh, bugh, bugh! Ian menggunakan lengannya untuk melindungi bagian wajah dan kepala, tetapi semuanya percuma saja karena kekuatan mereka jauh lebih besar. Tak ayal, malah ia yang jatuh tersungkur.

"CLAR, TOLONG!" Melihat punggung Clara yang makin menjauh dari celah kerumunan, Ian berulang kali meminta bantuan. Nahas, panggilannya tak dihiraukan, terbukti gadis itu tetap berjalan, bahkan tak ada sedikit pun niatan untuk berbalik badan demi menengoknya. Sesak, rasanya seolah-olah kadar oksigen di sekitarnya telah menipis.

Berakhir dihakimi di tempat, Ian belum menyerah untuk memanggil Clara. Persetan, jika suaranya berubah serak ataupun terkuras habis ketika dipaksakan untuk terus berteriak. Yang penting, gadisnya dapat kembali. Akan tetapi, lagi-lagi, tidak ada jawaban. Yang ada, Ian mengerang kesakitan karena tubuhnya dipukuli. "Pak, Bu, saya nggak gila," ucapnya lemas, berusaha membela diri.

"Halah, anak bau kencur berani melecehkan perempuan di depan umum. Mau jadi apa kamu nanti, hah?!"

"Huuu, orang gila, orang gila, orang gila!"

Begitulah tanggapan orang-orang sekitar terhadapnya. Masih bersikeras berharap Clara akan menolongnya, Ian kembali menyebut nama sang kekasih. "Clar ..., Clara-ARGH!" Lelaki itu berseru sekuat yang ia mampu, tetapi apa dayanya jika semua orang tak kunjung berhenti menyerang? Berusaha memfokuskan pandangan, Ian masih menunggu Clara melakukan sebuah aksi heroik untuk menyelamatkannya. Namun, ternyata ia salah besar.

Clara tidak kembali dan tidak akan pernah kembali. Refleks, Ian mengeluarkan setetes cairan bening dari matanya, menghadapi kenyataan tersebut. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tidak sepadan dengan rasa sakit di hatinya. Hingga sedetik kemudian, ia beralih mengepalkan tangan, matanya berkilat marah. Perlahan, tapi pasti, benih-benih kebencian mulai muncul. Dan, sejak saat itu pulalah, Ian memupuk dendam.

 Dan, sejak saat itu pulalah, Ian memupuk dendam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagaimana tanggapan kalian?

Jangan lupa vote dan komen, guys!❤️

Dipublikasikan : 23 Oktober 2022

Aku Sandaranmu ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang