Misi Pertama

57 13 2
                                    

Dara mengayun-ayunkan pedangnya. Ia menatap tubuhnya yang di balut dengan rompi. Ia tak tau kalau menjadi pemandu harus selengkap ini perlindungannya. Rompi anti peluru, sebuah sarung tangan tebal, dan senjata. Ia juga menggendong sebuah tas ransel yang di berikan Joe berisikan banyak sekali persediaan makanan dan senjata tambahan. Sebenarnya kita akan menyambut manusia atau monster?

Matanya melirik Dion, laki-laki itu tetap santai sambil mengisi amunisi pada shotgunnya. Ia merasa sedikit aneh pada Dion. Apakah laki-laki itu tidak merasa kepanasan? Tubuhnya sudah di balut hoodie di tambah rompi yang besar ini. Dara saja sedikit gerah padahal ia hanya memakai baju putih yang di berikan pada Joe.

Dara tiba-tiba merasa gelisah mengingat ucapan Lim. Bagaimana kalau Dion meninggalkannya nanti? Atau malah Dion rela mengorbankannya?

Sejauh ini Dion memang selalu melindunginya. Bahkan selalu ada untuknya. Tapi, apabila terdesak nanti apakah perlakuannya tetap sama?

Dara tidak pernah ada pikiran untuk menghianati Dion. Jadi kalau saat dirinya di perlakukan seperti itu, rasanya sakit sekali. Ia sudah mempercayai Dion sepenuhnya.

Ahh! Dara frustasi dan bimbang sendiri.

Ekor mata Dion beberapa kali memperhatikan Dara diam-diam. Ia menangkap kecemasan pada gadis itu. Tubuhnya beranjak dan mendekati Dara. Di genggam tangan mungil gadis itu dan mulai mengajaknya menyusuri lorong.

"Kenapa?" tanya Dion tanpa menatap ke arah Dara. Matanya sibuk memperhatikan ke depan.

"Ng-nggak, kok." Dara tersenyum kecil.

"Kalau pria itu membohongi kita, tembak saja kepalanya." Dara terkejut dan menggeleng cepat.

"Nggak kok, bukan karena Kak Joe," pungkas Dara. Gejolak panas memang masih terjadi antara Dion dengan Joe. Jadi ia tak ingin Dion berpikiran macam-macam yang akan menimbulkan masalah besar nantinya.

"Lalu, ada apa?" tanya Dion lagi.

Ah sial! Laki-laki di sebelahnya sangat penasaran. Apa terlihat sekali ya dirinya sedang gundah? Ia tak tau kalau membohongi Dion itu lebih sulit dari tugas matematika minggu lalu.

"Nggak ada apa-apa, Dion," jawab Dara penuh penekanan. Setidaknya ini mampu membuat Dion berhenti bertanya seperti wartawan.

Dion mengangguk singkat. Syukurlah.

Entah hanya Dara yang menyadari atau Dion juga, rasanya lorong ini semakin panjang tanpa ujung. Jantung gadis itu mulai berdegup cepat. Apakah ia akan berpindah ke level selanjutnya? Bukannya ia hanya di minta untuk menjemput pengembara yang tiba saja?

"Regu A, monitor Regu A."

Walkie talkie di kantung rompi Dion berbunyi. Ia mengangkat walkie talkie itu, "Masuk."

"Oh, bagus. Aku hanya mengetesnya saja."

Dion langsung menaruh walkie talkie itu tanpa mendengar ocehan Joe. Ia melirik Dara sebentar, "kamu lebih pendiam dari biasanya."

Dara terperanjat, ia menggeleng sambil terkekeh, "ah, nggak kok. Aku lagi nggak enak badan aja." BOHONG!

"Lalu kenapa memilih ikut?"

"Aku nggak mau diam di sana habis Lim ngomong gitu," jawab Dara, BOHONG lagi.

Dion menghentikan langkahnya. Ia menarik Dara agar berhadapan dengannya. "Kamu kepikiran?"

Dara semakin gelagapan, "ah, ng-nggak kok. Santai santai."

"Masih ingat kata-kataku?" tanya Dion.

Dara mengangguk lemah, "masih."

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang