Break It

23 4 0
                                    

Bro, just fyi! Mungkin bab ini sedikit mengandung kekerasan yang berlebihan dan adegan menjijikkan. Jadi buat yang nggak bisa, langsung skip aja ke bab selanjutnya (kalau sudah update). Adegan di ending itu sedikit lebih brutal dari bab-bab yang ada. Jadi, bijak-bijak membaca ya! Terima kasih!!

Walau sudah tau kalau dirinya harus menemukan kunci agar bisa membuka pintu itu, Dion tetap memutar-mutar gagang pintu bulat itu. Kakinya menendang-nendang pintu sehingga membuat suara nyaring yang menggema di seluruh lorong.

"Dion, sudah! Pintu tidak akan bisa kamu buka walau kamu menendangnya sekali pun." Dara menyenderkan tubuhnya pasrah pada sisi pintu. Gadis itu menggenggam erat kertas di tangannya sambil menatap kosong ke depan. Suara-suara di kepalanya sudah berhenti berteriak. Gadis itu menjadi sedikit tenang dari sebelumnya.

"Bangsat!" kesal Dion. Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya. Tangannya mengusap kepala dan wajahnya, menghela gusar.

Dion tidak habis pikir kalau harus menemukan kunci sebelum melangkah ke level selanjutnya. Sudah habis energinya terkuras melewati makhluk itu, kini ia harus memutar otak menemukan jawaban dari kertas yang tertempel dekat lubang kunci tadi.

"Sudah menemukan jawabannya?" tanya Dion pelan.

Dara menggeleng, "sulit berpikir saat perutku sangat lapar."

Ah, Dion teringat akan roti yang ia sisakan untuk Dara. Tangannya masuk ke dalam kantung, mengeluarkan setengah potong roti dan menjulurkannya ke arah Dara. Gadis itu terdiam, menatap roti itu cukup lama dan kemudian beralih ke Dion.

"Dimana dapat?" tanya Dara.

"Makan saja." Dion semakin menjulurkannya ke mulut gadis itu.

Dara mengangguk, lalu menerimanya ragu-ragu. "Bagaimana denganmu?"

"Aku sudah makan setengah tadi, sekarang itu untukmu."

Dara tersenyum kecil, lalu memakan roti itu perlahan. Ah, senang sekali rasanya kala lidahnya mampu merasakan makanan ini lagi. Ia memakannya sedikit demi sedikit agar bisa lebih menikmati roti itu. Ia tidak tau apakah nanti bisa menemukan yang seperti ini lagi.

"Dimana kamu mendapatkannya?" tanya Dara lagi. Gadis itu tidak akan puas kalau tidak bisa menemukan jawabannya.

"Itu tidak penting, kita pecahkan saja teka-teki itu agar bisa keluar dari sini. Setelah itu baru aku bisa menceritakannya." Dion mendekatkan tubuhnya ke Dara. Menatap kertas yang digenggam gadis itu, membaca setiap tulisan yang tertera di sana.

"Aku masih belum mengerti dengan ruang hampa untuk berpikir. Memang ada perpustakaan di sini?" tanya Dara pada dirinya sendiri.

"Ruang hampa untuk berpikir, sayangnya aku tidak punya, berkali-kali merpati menitipkan surat, tapi selalu saja tidak tersampaikan. Gelindingkan bowling dan ciptakan angka besar kala isinya berserakan." Dion mengernyitkan dahinya, "ini cluenya?"

"Iya. Setiap kalimatnya tidak memiliki arti sama sekali."

"Coba pelan-pelan pahami," ucap Dion. Ia mulai menunjuk setiap kalimat yang tertulis.

Belum sempat ia mengeluarkan sebuah kata, suara geraman kencang berderu dari arah depannya. Dion dan Dara sama-sama terkesiap, menatap lurus ke depan. Desiran angin berhembus pelan.

"Dia datang ..." bisik Dara pelan. Gadis itu tiba-tiba menangis dan menutupi telinganya. Suara pekikannya tertahan, tangannya memukul-mukul kepalanya pelan.

Dion mendekatinya, menarik tangan gadis itu dan menguncinya. "Kenapa, Dara?!" tanya Dion panik.

"Su-suara itu terdengar lagi, kali ini lebih kencang ..." isak Dara meronta-ronta.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang