Dejavu?

18 2 0
                                    

Tubuh Dion terjatuh di atas kursi. Ia menatap sebungkus mie instan mentah di atas meja. Ia mengernyit, apakah ini tidak di masak? Ia menatap Dara. Gadis itu sudah mengunyah remahan mie instan itu dengan lahap. Tidak di sangka, padahal belum ada lima menit ia duduk di tempat itu.

"Dion, apa matamu tidak terasa sakit?" Pietro menunjuk mata kanannya yang tertutup kain hitam.

"Pusing sedikit," jawab Dion.

Memang, pertama kali matanya di cungkil ia merasakan denyut kencang dari kepalanya. Rasanya seperti puluhan benda tajam menusuk seluruh sisi kepalanya. Tanpa sadar bulu kuduk Dion berdiri mengingat urat matanya yang tertarik sebelum akhirnya putus.

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ketika aku berada di posisi itu." Wendy bergidik ngeri, ia mengusap matanya pelan, "Bayangkan saja sebuah tangan meraup bola matamu, kemudian menariknya hingga lepas. Ugh ..."

Dara berdecak, bibirnya di penuhi remahan mie dan saos. Gadis itu menatap Wendy kesal, "kak! Jangan bahas itu, aku lagi makan."

Wendy terkekeh, "jadi saksi bisu itu tidak enak, bukan?"

Dara mendengus dan kembali memakan mienya. Sementara Wendy dan Pietro yang juga asik menghabiskan roti mereka, Dion masih bingung dengan makanan di depannya. Mie instan mentah? Apakah bisa di makan? Baiklah, lupakan. Bagaimana cara memakannya? Dion membuka bungkusnya, mencabut satu persatu mie itu dan memakannya. Ergh, Dion melepehnya. Apa ini? Hambar sekali. Tapi, bagaimana bisa gadis di sebelahnya lahap memakan benda mentah ini?

"Kenapa nggak di makan?" tanya Dara. Gadis itu meremas bungkus mienya dan melemparnya ke tempat sampah. Pandangannya kembali ke arah Dion.

Awalnya ia terdiam, tiba-tiba ia tergelak melihat cara Dion memakannya.

"Bukan seperti itu caranya." Dara merebut mie di tangan Dion. Mengambil semua bumbu sachetnya dan mulai menumbuk dengan tangannya. "Kalau mau makan ini, harus di hancurin dulu. Baru masukin bumbunya. Habis itu ..."

Gadis itu mengocok bungkus mie instan dengan kencang. Setelahnya ia langsung memberikannya kepada Dion, "baru bisa di makan."

Dion menatap mie itu dengan bimbang.

"Loh? Kenapa diam? Ayo ambil," suruh Dara semakin menyodorkan mienya.

Dion ragu-ragu mengambilnya. Astaga, makanan apa ini? Memang ada orang yang makan dengan cara seperti ini? Yang ia tau mie instan memang sebaiknya di masak. Bukan di makan mentah. Bukankah ini sama saja memakan bakteri yang tercampur di dalamnya?

"Huh?! Jangan bilang kalau kamu sama sekali tidak pernah memakan makanan ini?" Dara menutup mulutnya tak percaya.

"Kenapa memangnya?" tanya Dion.

"Astaga, Dion. Tujuh belas tahun hidup di dunia kamu belum pernah memakan mie mentah?"

"Iya."

"Sama sekali?"

"Sama sekali."

Dara menepuk dahinya. "Ini tuh salah satu makanan yang wajib di makan untuk orang yang malas masak tapi enak."

Dion berdecih pelan, ia menatap remahan mie yang sudah tercampur dengan bumbu dan saos.

"Coba makanya makan," suruh Dara.

Jari panjang Dion mengambil sedikit mie itu. Ia memasukkan remahan itu ke dalam mulutnya. Tunggu, ini tidak buruk. Ini ... Enak? Dion mengambilnya dengan porsi yang lebih banyak. Ia semakin cepat menghabiskan mie instan itu. Hey, siapa bilang kalau makanan ini buruk? Tidak dapat ia pungkiri. Ini sangatlah enak. Siapa yang menciptakan cara ajaib ini untuk memakan sebuah mie instan?

Gadis di sebelahnya tertawa kecil. Lucu sekali melihat Dion yang seperti anak kecil ketika memakan mie itu. Di tambah ini baru pertama kalinya laki-laki itu mencobanya. Dara tersenyum hangat menatap Dion.

"Manusia mana yang tidak tau cara makan mie seperti itu?" celetuk Pietro.

Dion menatapnya datar, jari tengahnya terangkat lalu kembali makan.

"Dih, bangsat. Dendamku denganmu masih belum hilang, ya."

"Ck." Wendy melirik Pietro sinis dan menyenggol siku pria itu.

Helaan napas terdengar dari mulut Dion. Laki-laki itu menaruh bungkus mienya di atas meja. Punggungnya di sandarkan sambil mengusap perutnya. Kapan terakhir kali ia dapat makan? Perjalanan yang jauh dan berbahaya sudah menguras kantong perutnya.

"Kurang satu anggota lagi, maka kita akan lengkap," ucap Wendy pelan. Ia terus menatap lorong gelap tempat orang-orang itu berlalu lalang. Tentu saja ia masih berharap Bruce akan muncul dari lorong dan menghambur mencari mereka.

"Tidak usah terlalu di pikirkan, kita berdoa saja semoga paman dalam keadaan selamat." Dion menyanggah.

"Benar, lebih baik pikirkan cara kita pergi dari tempat ini."

Semua mata tertuju pada Pietro. Terutama Dara, gadis itu mengerutkan keningnya tak terima, "kenapa? Bukankah di sini sudah aman? Persediaan makanan dan minuman sudah ada. Walau tidak sememuaskan dulu, tapi kita bisa bertahan di sini."

"Hey, bocah. Kamu tidak belajar dari kejadian kota mati itu? Tubuhmu hampir hancur kalau kita masih berada di tempat itu." Pietro menunjuk tubuh mungil Dara, "tidak selamanya tempat yang kita anggap selamat itu benar adanya. Bisa jadi tempat ini juga ada bom waktu yang bisa meledak kapan saja."

"Aku setuju," tambah Wendy. "Kita tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Selagi kita menunggu hari itu tiba, lebih baik kita mengumpulkan persediaan makanan dan pintu keluarnya."

Dion melipat tangannya di depan dada. Ia mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuknya. "Aku dan Pietro akan menyusuri tempat ini. Sementara kalian kumpulkan banyak makanan dan minuman untuk kita bawa, bagaimana?"

"Setu–"

"Aku ikut Dion, boleh?" tanya Dara memotong perbincangan Pietro.

"Nggak. Kita nggak tau apa yang ada di tempat ini. Berbahaya kalau kamu ikut dengan kita," jawab Dion tegas.

Dara menghela pelan dan mengangguk. Toh yang di ucapkan Dion ada benarnya. Ia tidak mau menjadi beban yang akan menyusahkan nantinya. Baik kalau tidak ada monster yang menyerang, tapi kalau ada nantinya, yang ada dia hanya memperkeruh keadaan.

"Tapi, bagaimana dengan matamu, Dion?" tanya Pietro.

"Kenapa? Aku masih ada satu lagi. Kecuali kalau aku buta, aku tidak mungkin mau melakukan ini."

Pietro berdecih, lagak laki-laki ingusan di depannya membuat dirinya memanas. Ingin ia cabut lagi sebelah mata laki-laki itu dan melemparnya keluar. Tidak bosan-bosan anak itu membuat perkara dengannya. Dari cara menjawabnya saja sudah seperti mengajaknya untuk berkelahi.

Dion bangkit dari kursi, setelahnya menatap ke arah Pietro.

"Sebelumnya antar aku ke tempat penyimpanan senjata ...

tidak mungkin kita pergi dengan tangan kosong, kan?"

Long time no see buddy ...

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang