Don't Break the Trought!

35 12 3
                                    

Dion memperhatikan semua cerita yang di ucapkan Dea. Wanita tua itu sangat bersemangat menceritakan masa mudanya sampai bertemu dengan kekasihnya yang sudah meninggal. Sejujurnya di dalam benak Dion, ia merasa sangat bosan mendengarnya. Lain halnya dengan Pietro, pria itu tetap kukuh mendengarnya, seakan semua itu adalah cerita yang sangat menarik.

Baru Dion menyadari pakaian wanita itu sama persis dengan yang di kenakannya kala ia bertemu. Baju daster merah bercorak bunga putih, sebuah konde hitam yang menusuk rambutnya, serta sandal jepit berwarna putih. Sederhana sekali, di terka-terka umur Dea kemungkinan 60 tahun ke atas.

"Lalu, setelah sampai ke ruangan ini. Aku tidak sengaja keluar dan kembali ke level sebelumnya. Untung saja Dion menyelamatkanku dan membawaku kembali ke ruangan ini." Dea mengakhiri ceritanya dan menatap Dion dengan senyuman tulus. Terpancar rasa bersyukur dari mata wanita itu. Dion hanya tersenyum kecil membalasnya.

Otak Dion tiba-tiba menyembulkan sebuah pertanyaan. Sudah lama ia simpan, tapi ia baru terpikirkan sekarang kalau bukan Dea yang mengingatkannya.

"Bagaimana nenek bisa keluar dari snackroom?" tanya Dion langsung.

Dea menatapnya, kemudian menggosok dagu keriputnya, "hmmm ... Ah, aku ingat. Aku tidak sengaja masuk ke dalam sebuah celah besar dari dinding tempat ini. Ada suara-suara aneh yang memanggilku, seperti suara orang yang kita kenal. Aku kira itu Pietro, jadi aku masuk saja ke dalam, dan saat aku masuk celah itu sudah tidak ada."

Dion mengangguk paham. Ia berpikir kalau itu adalah sebuah jebakan yang ada di ruangan ini untuk menipu setiap pengembara. Kalau memang pikiran mereka kuat, akan sulit pastinya pintu itu terlihat. Mungkin, ketika kita berpikiran kosong maka akan terlihat celah yang menghubungkan area 6 dengan snackroom.

Memang tidak terdengar berbahaya, tapi kalau sudah masuk ke dalamnya, akan sangat mengerikan. Tidak apa-apa kalau sudah tau cara untuk melewati area 6, tapi kalau masih awam? Ia rasa nasibnya akan sama seperti Dev dan korban-korban mutilasi lainnya.

Perut Dion merasa terkilir. Ia meringis dan memegangi perutnya yang semakin sakit.

"Nek, dimana kamar mandinya?" tanya Dion cepat.

"Kenapa? Mulas, ya?"

Dion mengangguk cepat. Cepatlah beritahu, ia sudah tidak kuat lagi.

"Di kanan, pintu berwarna putih. Sebelumnya Dara masuk ke sana. Entah sudah keluar atau tidak."

Dion langsung berlari ke tempat yang di tuju. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah tinjanya yang meronta-ronta untuk keluar dari tubuhnya.

Entah sudah berapa lama Dion berdiam diri di depan kamar mandi menunggu Dara. Bukan khawatir, tapi Dion juga perlu menggunakan ruangan itu. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa ingin buang airnya. Kalau bukan karena makaroni pedas itu, ia tidak akan berakhir seperti ini.

"Ayolah, Dara! Cepat!" desis Dion memegangi perutnya.

Tidak ada sahutan. Argh! Ia ingin mendobrak, tapi takut kalau tiba-tiba gadis itu marah dan mengatainya sebagai pencabul. Bisa habis dirinya di hajar Dara dan Pietro. Wejangan Pietro akan jangan melecehkan seorang gadis terus berputar di kepalanya. Kalau saja Pietro tau Dion melakukan hal itu, kepalanya akan berakhir dalam kloset berisi bekas air mani pria itu.

Oke, yang harus Dion lakukan adalah menahannya. Ia mondar mandir sembari mengatur napas. Tangannya terperangah mengetuk pintu kamar mandi.

Satu ketukan ...

Tanpa sahutan, ada baiknya sekali lagi ia coba.

Ketukan kedua ...

Masih saja sunyi. Oh ayolah! Tidak ada pilihan lain, kalau terus seperti ini maka dia bisa saja mati karena menahan sakit perut. Bodoh sekali kalau itu terjadi.

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang